Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Senin, 13 Desember 2010

Dua Muka

Burung kenari, mencuri cahaya dari balik semak belukar yang menjulang pucuk daunnya menusuk matahari. Melebur hati yang berdentum bergemuruh, menyumpal hati nurani. Dari celah-celah bebatuan yang mereguk racun bulan merah yang tertidur pada gurun nan penuh gambar, angin menjadikannya belati yang menyayat-nyayat. Dijungkirkan pada lembah sepi, jeritan hamba punya lisan melolong pecah pada jembatan kayu diterpa lagi deras air sungai mengisyaratkan doa malapetaka menggerus tiap-tiap ingatan jadi luka dan mimpi buruk. Bukan pada pagi, senyum bisa hidup kembali, selagi pedih bergelayut di dada, menggelantung pada tiap iga, serasa remuk seisi singgasana, dihantam habis bait bait racun berkaca kaca membenamkan nafas dalam pekaknya air tuba. Dalam meronta menggapai nafas, hanya tersisa suara jadi tirai sandiwara yang sekejap berakhir segera. Sedang di balik dinding masih terekam benar wajah wajah dua warna, satu jingga satu lagi merah menyala, satu jingga satu lagi merah menyala, satu jingga satu lagi merah menyala. Dua warna satu wajah seperti topeng sandiwara dibekukan dalam ketiak matahari, bahwa sepi lebih berarti dari riuh.

Jumat, 10 Desember 2010

Kepada Kiamat

Kepada kiamat,
kami bersuara meronta.
Sedikit lagi sisakan waktu untuk kita
jangan dulu bakar kami punya cerita
sedikit lagi berikan masa
sisakan satu lagi harapan
pada terakhir kalinya untuk ibunda kami yang tua renta
izinkan nanda menyemai sawah kita, sebelum panen merenggutnya
membuat bangga ayahanda
membingkai hatinya berbunga-bunga
kepada kiamat,
tak berdaya telapak tangan kami berlumur air mata
sementara lidah kami penuh cela
menista kaum tiada daya
menyayat sesama punya jiwa
doa kami pada siapa
sesal kami untuk siapa
kepada kiamat,
mungkin hanya dengan membuka mata,
dapat kami bujuk Sang Kuasa
katakan kepadaNYA, kami lihat pertanda
sedikit lagi untuk dunia
kami tengah berjalan pada haluanNYA
kepada kiamat,
coba engkau katakan kepadaku
sebelum hayat melerai
mampukah kata-kata menidurkan masa?