tag:blogger.com,1999:blog-45017492229281458872024-03-14T19:48:58.110+07:00Bahasa DuniaMenyuarakan Warna dan RasaDedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.comBlogger53125tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-65394064693963032882015-01-14T21:47:00.000+07:002015-01-14T21:47:09.166+07:00HarapanSudah remah, direkasnya umpang runtuh bergemuruh hancur berserakan tiada menyisakan buluh sebuku buku. Berderap hempasannya digema tanah pijak. Baku mundur baku singkir. Satu-dua langkah gentar gemetar. Seperti perang badar. Berdasawarsa sudah ruam dalam lesak di sanubari, bekas tercabik hari petang yang lalu, yang sempat aurnya melesat kenai jantung berdegup. Dup dup dup, melemah dan lalu kaku. Kami mati! Kami mati! -begitu tukasnya. Berderit nafasnya bergelombang diburu bayangan putus harapan, membawanya ke haribaan altar dan mengemis, Tuhan, harapan kami mati. Jangan biarkan. Jangan . . . Biarkan . . . Kemanapun lenyapnya.<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-31411586582497486522012-07-08T13:32:00.004+07:002012-07-08T13:32:26.361+07:00Dunia Meludah<span style="color: #333333; line-height: 16px; text-align: left;"><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; font-size: large;">Butiran-butiran dalam kotak membiaskan kibasan cahaya menggelepar dalam roh roh suara. Memilinnya jadi kisah kisah angin yang berputar dan terhempas, pada runcing jeruji jeruji besi. Sejenak sang waktu menghela nafas memadati rongga dada yang sekak terpilin kuburan dan timbunan kegelapan. Dalam dingin beku gelap sesak dan mencekak, masih dibiarkannya kosong lorong lorong menuntunnya. Pada kotak kecil, terpekur kisah dililit bisikan nan kejauhan terdengar samar memilukan, perihal insan insan buta, berjalan padanya dengan wajah wajah berlumur tetesan dosa suram dan buram. Dengarkan, dunia memanggil, melambai merantah kelah. Dengan tentang sombong sesumbaran berdigdaya membakar neraka meluluhlantakkan sorga. Menorehkan noktah pada langit malam yang indahnya dilukis malaikat oleh nama nama pepujian Tuhan, menggemuruh dalam teriak pekak tenggelam bermawa. Jam pasir, menitikkan butiran butiran harapan, menyisakan sekotak suara lagi. Biar mengembara dunia bawa manusia . . . Hari esok mereka habiskan disini, tinggal binasa terhitung hari.</span></span><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-89502913705335241642012-07-08T13:32:00.000+07:002012-07-08T13:32:00.682+07:00Syal Jingga<span style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; text-align: left;">Dan langit pun menumpahkan butiran hujan mengerutkan wajahnya dipercik setitik demi setitik. . . . Lagi bening sinar dibias-bias . Menjelang senja, sayap sayap berhenti mengepak di sarangnya. Hening seketika. Hanya gemericik menari menggelitik jadi tabuhan perayaan penggemar yang tertidur di sudut sofa, dalam gelapnya serambi penuh nyamuk dan laba laba. Dalam hujan, seperti talu diketuk, mendendangkan sinis panggil panggilan, untuknya yang terdiam di balik kaca. Sekalipun bulirnya hujan ditampik tanah tanah lepas, tiada daya juga dingin merangsek dalam tebal syal jingga. Lalu kemana? Kemana hujan pergi? Sesudah kedip ditipu lari, syal jingga dibalik kaca. Dengan topeng merah muda. Memecah hujan dikurung serambi. Kemana engkau lari sembunyi? Kembali! Hujan segera datang lagi . . . Biar terkibas, syal jingga jadi sutera. Sutera hujan insan menyebutnya. Jangan sembunyi! Hujan kian berat, butirnya kian tajam mendera. Dalam angin, dedahan jadi panduan, biar diayun keras, patah ranting harap lama terasing, cari syal jingga dibalik kaca membisu dikubur bahasa. Bahasa hujan, gelap dan senja, siapapun namanya . . .</span><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-64776382379560695952012-07-08T13:30:00.005+07:002012-07-08T13:30:56.296+07:00Garis<span style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; text-align: left;"><span style="font-size: large;">Setelah dihapus titik debu. Meraung raung ditindihnya jerih. Atau sebab dosa dibukakan satu luka? Terbelenggu pukat pukat kasat mata, gemas geram mataku dibuatnya buta. Meraba setelah disiksa. Begitulah pula ingatan, kemana lari diburunya jua. Lalu dijawabnya pendek kata ; kalah! </span></span><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-47763855810124363842012-07-08T13:30:00.001+07:002012-07-08T13:30:14.722+07:00Bahasa Jaring dan Pukat<span style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">Selamat pagi suara, dilagukan hikayat bunga kemuning, setiap pagi menentang terang dibalik dedaunan ditampik. Tadi malam angin datang tersengal pongah, diburu buritannya menjaring setiap jejaknya. Seperti musuh, membeku-hancurkan apapun bercokol dijalanan, pria pria bertudung sarung. Ditikam tikam suara ini. Sampai angin tak bergerak lagi . . . </span><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-66525906740847493242012-07-08T13:29:00.002+07:002012-07-08T13:29:16.820+07:00Ditombak Matahari<br />
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Terimakasih senja, butir butir air mata engkau gerus jadi hujan mendera.Jatuh lebat berdegum memekak bumi, tinggal tersisa rekahan rekahan luka dinukil waktu biar lekang kering dan menoktah jiwa hingga besok engkau datang lagi senja.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Tidak lagi menanti, biar waktu mengaburkan lebam luka dan peri rasa, julurkan saja tanganmu senja, biar bergelayut detik beku di sisi sebelah ini, tidak lagi matahari remat membakar dan menombak terak jiwa ini.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Lemparkan saja setinggi cahaya bisa menangkap, jatuhnya nun jua ke haribaan senja.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Dengarkan yang melengking, jauh menggema, membunuh memekakkan telinga.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Rasa sakit yang menganga, dibenamkan dalam timbunan harapan . . . dan kesempatan.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Tunggu aku senja . . . sehari lagi . . . biar sempat tangan ini . . . menombak kembali . . . sang matahari </div><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-72609644879465150272012-07-08T13:28:00.002+07:002012-07-08T13:28:46.012+07:00Pantai Merah<br />
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Selalu basah datang pagi dibasuh embun dari kabut yang turun menukik dari tinggi pun dedahan membendung.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
tadiBersembunyi dari jilatan petir semalam yang temaram, tibalah pagi masanya bertandang dengan kelok jalanan. Mengarung dari tempat lahirnya cahaya menzahirkan suara menjadi warna. Setelah pagi terang terang bercahaya.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Bagya menapaki sejengkal demi sejengkal negeri yang mengapung, yang teduh dinaungi rindang belantara nun dimandikan percikan nakal bekas pelangi tadi.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Sesekali bersiasat dengan torehan petir semata, sengatnya menjarum, dalam cahyanya mendetas diujungkan jalanan ke arah sini situ, di negeri yang mengapung, raman menopang dunia.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Berjalan kami menjemput semenanjung, hempas hempas ombak jauh mengundang datang, terkabar dari puncak negeri terapung, tengah datang kami berkafilah, tunggu jua sedikit masa.</div>
<div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">
Kami datang . . . . </div><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-36584396653256648552012-07-08T13:27:00.005+07:002012-07-08T13:27:49.324+07:00Jendela<span style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; text-align: left;">Jendela kecil, tempat kepada cahaya anggun terbingkai. Jadi gerbang sedikit pandangan menapaki gelap jalanan gang di samarnya malam. Menari, menemani suara dan gema yang bertumbukan. Dari jendela tempat memandang kehidupan. Kepada jalanan, bayangannya ditumpahkan. Cahaya, berjuta deratnya ribu rasa pengecapnya. Seperti memuntahkan warna warna, tak terbendung. Segera lalu setelahnya mengabarkan, tentang apa yang berdenting. Tentang bagaimana birama kehidupan berjalan. Keras lembut detaknya dunia. Lewat layar angin dan embun, tinggi terbang pijakan tertepak. Meski tiada sayap, jendela di ketinggian, jadi teman, mengarungi kosong senja, terbang kemanapun awan menelan cahaya. Jauh di atas bendera bendera yang ditera, kami terbang menyaksikan dunia, lewat jendela. Dalam pusara tawa, tengah seminya tangis berbunga, kami direnggut. Dan kelak pun pulang bawa cerita. Bahwa sempat gantungkan mimpi, lewat jendela kecil, di sebuah serambi. Menghadang senja, kita pada jendela . . . . </span><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-52189519782665972542011-11-02T09:12:00.002+07:002011-11-10T06:48:31.656+07:00Butiran Hujan<br />
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">
Butiran hujan menjelang senja, menampar keras celah dahan dan dedaunan. Tercurah hebat menghujam datarnya bumi. Pecah memantul, basah diderai. Lewat gelap yang menancap . . . Dikisahkan bekas bekas luka cabikan, bersuara dan menggema pada dinginnya senja yang segera tiba. Aku lihat tak satupun berkas cahaya yang merdeka menari nari menamai setiap benda yang terjerat spektrumnya. Hanya muram, suram nyaris padam, warna terserak pada ruang ruang pecah. Aku gambarkan sebuah dunia, dengan genggaman tangan-tangan. Mencengkeram. Merangsek masuk pada lubuk lubuk sanubari menggugah empunya akan indah warna-warna. Berulang berulang berulang tetap sama. Warna. Bahasa yang bercengkerama dengan mata, menjadi jiwa. . . . .</div>
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">
Segera selepas hujan lewat, berkas berkas kian menyembul di celah awan, kembalikan lagi hangat, pada lekat tanah basah. Burung burung kembali beterbangan mengejar waktu nian tak sempat makanan tertampung menggunung, pada cemericit anak anak, menganga tersumpal suara. Tidak lagi senja jadi pemangsa, melainkan sepi mengintai murka. Segeralah tidur, datang malam didamping tombaknya terhunus menjulang, menikam sayapnya dengan mimpi duka. Menggelepar jauh jauh jazirah dicerca, belahan jiwa yang tertinggal sisa. Cuma kosong memerangkap gelap, tinggal malam mengaum mengancam. Hempas semua luka pada buruk mimpi menyiksa, meski benci malam harus menyela, percaya pagi tak akan pernah sepi. Terimakasih hujan . . . Padamu, hidup mengenyam lagi harapan.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">
<photo id="1" /></div><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-85134192138856542882011-10-09T13:19:00.001+07:002011-10-09T13:19:13.324+07:00Puisi IsengGersana Anaraksa menengadah pada hadirat megah angkasa yang jenjang menjulang menyibak butiran butiran embun dan menyapu ruang pandang menembus celah vertikal pada media simfoni mengenang rekaman rekaman kenangan yg pupus di belakang jalan. Aku berpijak pada tapal di muka mengurai lagi satu demi satu bayangan peri yang sudah memudar kerut demi kerut. Tak ada lagi melodi seindah matanya yg bercerita. Bersama jajaran berurutan detik ke menit ke jam ke hari ke minggu . . . Bayangan mata sang peri terus ada mengejarku. Pada hari yang rawan dan rentan sejenak aku menoleh pada balik balik tapal itu. . . Kulihat sang peri jatuh terjerembab terisak menahan sakitnya luka. Terpekur aku menatap bening tangisnya melesak pada hati yg menghiba betapa ketat aku ia jaga, namun tiada sadar semburat air matanya tercucur meregang dan meronta tertusuk kenyataan betapa kejam tanganku bak iblis yg menarik keluar jantungnya. Sang peri pun terluka, merintih terduduk diantara bebatuan pualam singgasananya. Ia memandangku dengan penuh pandangan letih seolah matanya mampu memercikkan secuil terangnya lentera memintal bahtera pada samudera hatiku, terombang ambing penat pada gelapnya. Aku coba lagi membalik kusam lembaran cerita yg sempat ia sematkan, tertoreh lagi kelakar kelakar betapa indahnya uraian hari ia rangkaikan. Tentang indahnya peri bermata kristal, yg bertarung seiring pundak ksatria Arca menumbangkan lebam lebam ketakutan akan mimpi buruk yg berulang. Tentang perihal bunga bakung yang ia semai jadikan sebuah istana pasadena yg dipenuhi maranatha dan bunga daisy. Membingkai anggun wajahnya pada kolong mahkota matahari, penuh warna kuning--warna senyuman--yang mengibaratkan dunia sebagai sebuah kecil persinggahan. Kulihat lagi betapa berkilau peri menyiratkan betapa hidupku adalah hamparan layar yg aku corengkan tinta noda di atasnya. Serta terkenang lagi senyuman itu. Senyuman bunga lily pagi atas jiwa seorang guru kata, memadatkan darah darah luka dan merenci tegak aku berdiri. Peri bermata kristal, sinar matanya masih sangat menggema di seantero sanubari hati melepuhkan angkuh dan sombong perjalanan, tatkala sekali lagi aku alami kenangan itu, kenangan betapa jarinya teduh memberikan percik kedamaian pada siang yg gersang, dan juru mudi yg kehilangan tonggak kemana ia merapalkan mata angin beterbangan. Peri . . . Bukan dosaku pergi meninggalkanmu, andai lebih dulu kau angkat aku. Peri . . . Katakan padaku masih ada cukup masa aku mengobati lukamu . . . . Dengan darah dan air mataku . . . . . .<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-15777468090657231312011-10-09T13:19:00.000+07:002011-10-25T08:18:24.932+07:00Pesan Saat Pulang<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Kelak akan tiba jua masanya, terpekur sepi dalam kamar serasa jeruji. Ayat sastra seribu arti, diulit mentari merah berhelah jasad setengah terengah menyibakkan pesanan, sebelum merentang perjalanan terakhir, dalam haribaan. Tiada lena diulit intan, dibekas pujian, ajal tiba tanpa perhitungan, tiada terkesima dijulung mata mata, membawa segenap yang dicintakan. Mengulit rinduan jadi kenangan tiada guna diundur masa sekalipun. Dalam tersengal, dibaitkan salam berpamitan, dimohonkan khilaf kezaliman, diikhlaskan segenap urusan. Tiada rela melepaskan sungguh sebak memuncak kesedihan dilantun ayat berbisik bertitian jadi tombak merepas dalamnya hati. Kilas terbias, masa jayamu pada padi segemal jadikan sebutir seribu amal. Dedaun diulam jadikan enyam, dengan gigih isikan hati ilmu kebesaran. Semasa ini, sendu dan tangis terdengar sayup, menghantar kepulangan, terbang ke langit lupakan bumi, lupakan kami. Pada urusan nian hakiki. Hujan gerimis gemeraut heningkan nada, hanya mawas diri jadi nahkoda, dalam selamat hidup berbakti, menjelang ajal tutup berganti</span><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-81661290882691519432011-10-09T13:18:00.000+07:002011-10-09T13:18:56.180+07:00CahayaAdalah cahaya, yang memoles wajah serambi menjelang hari. Berbilik bilik detik ke detik, denting nya berputar seirama nafas yang memadatkan rongga dada. Mengisinya dengan gelap dan terang. Adalah jendela, tempat engkau jengukkan sedikit pandang mengintip apa yang darimu dunia sembunyikan. Angin, dedaunan terusik ditampar jejarian hembusan lewat celah celah dahan terombang ambing. Cahaya, menjadikannya berdiri penuh warna, kelabu dan merona, seperti selendang sutera. Namun bukan tabu buat dunia menentang cahaya, seketika matamu pedih terbarus air mata, dari pemandangan-pemandangan perih menggores hati, dalam dunia yang tak setiap kala engkau persaksikan. Cobalah singkap apa yang darimu cahaya sembunyikan. Kesana, diantara ilalang berkerumun, dibalik lagi tandus tanah kota meronta. Bayi bayi berduka, mohon dengan tangis engkau isi perutnya.<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-61887197280670068032011-06-16T13:58:00.000+07:002011-06-16T13:58:38.052+07:00Puisiku Untuk IbuSekali lagi layar dikorek, dinabatkan jadi selisihan perihal. Duhai periuk, terisilah sedikitpun sesuatu yang dapat mengisi hatiku, kenyang akan petuah maha syahdumu. Dikepal tangan tangan muda menempa dada, menjadikan wajah berhias satu, tangguh, padu dan pekak merajai apa saja tanpa gentar beralih arah. Layar lagi dikorek diarah tenggara, berseteru dengan ombak, buih, garam, dan puing, ditera pucuk haluan, bawa kami pada daratan. Kami pulang. Kami pulang. Sungguh kami ingin pulang. Rindu mencinta ibu, menambat jangkar, dan berlari meraih tangannya. Menciumnya selama lama masa, sambil senja ditenung adzan, kami lebur air mata, dalam tatap ibunda, memaknai wajah kami, tunduk tertampar malu di pangkunya, sebelum terbakar sumbu dihujamkan sesalan, dari kisah semu sei semayang kepada basah tanah perkiwa hanya ibunda, berdiri di setiap titik simpangnya, ada ibu tempat kami lalai dan kalah, karena kepadanya kami berhutang nyawa, secuil pun kami wujud, tanpa harga tiada hadirnya. Ibu, jemari kami lentik dipahat ribuan malaikat, dalam wajah kami tersiar kasihmu dipenjuru jazirah, kendati remuk jasad kami ditelan dosa, selalu ada lirih doa dari bibirmu nun kami kecup jadikan tiap keluh kesahnya jadi ampunan Ilahil ghofur, padaNYA serta merta engkau mengemis tiada terias dusta dan cacas engkau basuh semua wujud kami, dari air matamu bergemuruh dirundung gerombolan malaikat pembawa ampunan. Tapi, dalam jauh kaki kami menapaki bumi, selalu sekat tiap petak kami jejaki dosa terumpama semata kami lalai dalam tangis harapmu disana engkau berdoa, lelehkan air mata demi denting piring makan kami hari ini, sungguh murka Ilahi menjinjingi kami jikalau saja dalam gelap sesat kami lupakanmu. Ibunda . . . Kami pulang . . . Kami pulang . . . Bawakanmu doa balasan, semoga kelak kami naung bersamamu . . . . . Di tepi salsabila, yang penuh cahaya....<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-34455472044926861712011-03-09T09:26:00.001+07:002011-03-09T09:26:45.262+07:00H I J A UTerdampar di sabana Watumohai, hijaunya daun, dipayungi lagi rimbun. Lewat syair, Tuhan kita goda, meski perih, betis dilecut pucuk ilalang, jangan berhenti berlari, setapak tak berakhir disini. Hanyalah sebongkah batu menikam telapak kakimu, jangan sayu. Tengok dan tegakkan dagumu, lihat di ujung dengusmu, hamparan kehidupan sedang dilukiskan, di sabana Watumohai, dua lantai sebelum Edena, surga penuh cahaya. Kokoh dipagari benteng aura dan doa, megahnya menggema, menopang timur hingga ke kiblat mengembara dalam setiap ruang terisi angin dan cahaya. Tak ada gaduh tak ada gemuruh, lautan ilalang nan hijau dibentang menyelubung tanah pertiwi, memberinya hijau dan basah celah celah tanah, memberi minum bagi musafir musafir gila yang jiwanya direnggut Tuhan, menapaki lembut rumput dengan telanjang alas kaki, bersimpuh bersujud membaur dengan buih, yang deras titik demi titiknya jadi irama pasir, dideru angin, air dan dipanggang raja api, sang matahari, menuntunmu tempat dimana zamrud tertanam rapi. Kemana? Hendak kemana engkau? Jangan dulu beranjak pulang . . . Hari belum lagi senja, kita berlomba lari menceburkan diri di telaga, sedikit lagi senja menjemput ... Bersama, kita pulang ke haribaan<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-89195994668541092772011-03-07T10:56:00.000+07:002011-03-07T10:56:02.486+07:00Selamat Datang Kepada terangBeginilah pagi. Tak perduli seperti apa lebatnya hujan semalam, tetap beginilah pagi, selalu pekat dengan kabut dan angin yang tertidur. Seperti inilah pagi. Mulai bergeming manusia mencari pagi. Ke timur, ke barat, utara dan selatan. Pagi. Seperti pada belahan bagian bumi, melihat setapak setapak kian berkelok, menyusuri punggung bukit dan dituntun tahrim, seperti inilah pagi. Singgah sebentar. Ditutup dengan adzan. Seperti inilah pagi. Sesaat setelah dua rakaat, mulai ramailah pagi. Pancuran, dapur, surau, ladang bahkan di tepian hutan, pagi menyeruak dari rimbunan dedaunan, merasuk semakin dalam di setiap partikel materi, pagi datang. Pagi telah bernyawa. Ialah angin dalam hutan, bersembunyi semalam. Dijemputnya engkau, diajak serta menari. Hingga pagi . . . Kembali mati suri<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-79316695930936485502011-03-01T05:20:00.003+07:002011-10-09T13:21:12.380+07:00Malaikat PersimpanganKemarin, terngiang sediakala hembus bisikan yang mengetuk celah bebisuan gendang telinga. Terekam cermat, kata demi kata diringkas dalam hati. Menangguhkan pintu ke lorong waktu, menghempaskan wujud dalam ruang kosong mampat dari sudut ke sudut merambat satuan ke satuan. Diantara hujan dan kabut pekat, menapaki gelap semakin dekat, aku dibangunkan oleh gundukan gundukan jalanan. Melontarkan raga ku seakan langit masih tersisa satu hempasan nian. Terkesima, menggerayangi wajah wajah kota penuh hidup hiruk pikuk dan suara. Setengah sadar sebagian jiwa masih terisak dalam buaian Maimunah dan kain sulam, mataku dibelalakkan pemandangan, yang tak diberitakan dalam bunga tidur sepanjang perjalanan. Tanah ini, ibu pertiwinya dinda bestari, negeri tempat kalbu-kalbu ditempa besi, mulut dibungkam upeti, manusia tersenyum kesana kemari. Sementara lepas peduli, di sudut gardu, yang tengah berserakan sampah dan debu, malaikat kecil dicekik deru, mengais memiris, merajut satu per satu kaleng, untuk ditukar harapan esok hari. Adakalanya, raungan makhluk mesin menelan gempitanya, sesekali ia lemparkan pandangan ke jalanan, lorong tempat ia mungkin menghanyutkan keluhan. Kepadamu, kepadaku. Tentang pedih memar yang diretasnya, merah nanar mukanya murka, tapi sayapnya dibelenggu, selagi tak sampai isi hatinya sempat bergema. Kemana lagi? Wajah kota penuh tipu daya, apalah ia. . . . Malaikat dengan mimpi tak seberapa.
<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-44339353680677161072011-02-27T08:42:00.001+07:002011-02-27T08:42:17.425+07:00CahayaAdalah cahaya, yang memoles wajah serambi menjelang hari. Berbilik bilik detik ke detik, denting nya berputar seirama nafas yang memadatkan rongga dada. Mengisinya dengan gelap dan terang. Adalah jendela, tempat engkau jengukkan sedikit pandang mengintip apa yang darimu dunia sembunyikan. Angin, dedaunan terusik ditampar jejarian hembusan lewat celah celah dahan terombang ambing. Cahaya, menjadikannya berdiri penuh warna, kelabu dan merona, seperti selendang sutera. Namun bukan tabu buat dunia menentang cahaya, seketika matamu pedih terbarus air mata, dari pemandangan-pemandangan perih menggores hati, dalam dunia yang tak setiap kala engkau persaksikan. Cobalah singkap apa yang darimu cahaya sembunyikan. Kesana, diantara ilalang berkerumun, dibalik lagi tandus tanah kota meronta. Bayi bayi berduka, mohon dengan tangis engkau isi perutnya.<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-84533659959664833252011-02-26T06:28:00.000+07:002011-02-26T06:28:17.216+07:00Paradoks Dua SuaraSeperti subuh, alang-alang dan ilalang menggelepar dihujani adzan. Belalang dan wereng tunduk sayu dipelintir rintihan dzikir dan seruan orang orang yang merindukan sandaran. Aku lihat kegelapan sekitar. Hanya ada bebatuan dan gemericik air kali di kejauhan, mengisi retak demi retak menjelang subuh ini pagi. Berputar bumi, menggeser timur kepada barat dan barat kepada timur. Dari buku buku, halaman-halaman baru rampung tertata rapi. Pada mata seorang kawan aku menyaksikan dimulainya kehidupan penuh gelora pergulatan. Memberikan kisah untuk ia tuntaskan. Tentang seorang kawan, sebagaimana rindu ibundanya dipeluk keharuan, dielu, dirayu, dan bermanja di atas pangku. Sebagian sanubarinya berdesir memimpikan hidup laik kawan sekehidupan. Panggung ini, tajuknya dunia. Dilakonkan oleh insan insan sepertinya, seperti ia memandang pun sesama, dalam alur punaka, hikayatnya sumbang kemerduan, kisah yang menyanyikan sesekali sesak keluh kesah dan kekecewaan, nun iramanya satu satu tersuarakan. Hidup ini nakal. Terkadan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS1ZyjW83vc9aUNTG0Cx-wCS-pGQDH-kIE5aL3E8Po5MpQZ84MSf3tGALKnPmfZQnHlpkJP6EQ_X-ygYtyXU8iUfjtaaWQU4g0cDenkwZAso8rQK5Z6gEBWASCJUFDj_IkudVBQpOIrA/s1600/ibunda.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="400" width="343" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS1ZyjW83vc9aUNTG0Cx-wCS-pGQDH-kIE5aL3E8Po5MpQZ84MSf3tGALKnPmfZQnHlpkJP6EQ_X-ygYtyXU8iUfjtaaWQU4g0cDenkwZAso8rQK5Z6gEBWASCJUFDj_IkudVBQpOIrA/s400/ibunda.jpg" /></a></div><br />
g menyembunyikan masa depan. Adakalanya ia menyembulkan kenyataan yang menampar keras keras mukanya sehingga tersadar bahwa seseorang sepertinya, adalah ibunda tersirat dalam dirinya.<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-57191953950352704122011-02-23T14:54:00.001+07:002011-02-23T14:54:00.330+07:00Matahari TertidurMenyadar betapa jauh telah kita tempuh. Tak satupun ada sesuatu yg tertinggal di batasan masa. Kita menelisik lagi liuk liuk ranting yang menjulur menjadikan bingkai sejarah kita toreh padanya. Membangunkan matahari yang tertidur. Bersama kita berlari mendobrak gundukan demi gundukan pada satu arah yang sama. Teringat lagi satu dongeng tentang dirimu dan aku. Pada masa kita larut dalam tawa pecah di danau geyser pada ladang ork di kaki bukit Emerald, mengadu pada mimpi mimpi buruk semalam. Pada penglihatan yang kandas di ujung dermaga, sempat kita membanting pandangan terajang pada hulu bebatuan sungai Salmon kita menyaksikan malaikat bersayap tercampakkan pada tepi sungai terkubur ilalang dan amaranthea. Dengan balur luka menyelubungi tubuhnya, ia bernafas namun tiada sanggup mengepak lagi sayapnya. Seperti cahaya yang berpijar pada puncak bukit gelap Emerald. Masih dapat aku ingat bersama kita panggul ia menuju lumbung kita, mencarikan tempatnya menyembuhkan luka memberikan harapan seterang cahaya, membiarkan angin mengeringkan air matanya sementara dudukannya kita ganjal dengan karung gandum ditemani erangan kesakitan. Malaikat yang malang. Kita teduhkan ia pada rindangnya warna abu abu dan dibelai symphony paling menyayat hati yang pernah ia hayati. Memberikannya warna yang tak terhingga di dalam hati. Tak ada lagi suara yang menggema pada tebing tebing Emerald yang bisu dan burung burung Nazar pemakan bangkai. Perlahan kita biarkan ia mengalun perlahan memberikan irama pada hidupnya, menggandengnya pada hidup yang nyata, sehingga tak lagi terbaca alur alur nadanya yang mematahkan air mata berderai. Penuh jiwa dia goreskan warna. Menunggu keajaiban datang menghampiri, atau dikandaskan gema gema yang merusak, mendenting setiap detakan pada jantungnya hingga sayapnya dapat lagi mengepak. Sementara ia kita biarkan menanti, persiapkan saja gita gita pepujian bagi jiwa jiwa yang mati. Agar dapat mereka temukan jalan mencari cahaya sebenarnya. Berlomba menumbangkan masa, menjerit sekerasnya tanpa ragu tumbang suaranya. Dan tetaplah tangan kita mengobati sayapnya yang penuh luka. . Sembari terus sejalan ditemani denting denting berlaluan kita acuhkan. Kita berjaya mewarnai takdir dengan gema dan suara, dan jeritan, pada lulaby lulaby untuk iblis yang tengah bermimpi. Menuju pada hari yang gelap dimana matahari kembali tertidur, meredam gema yang terbingkai pada sayatan sayatan symphony. Detak jantungnya terus saja menghentak tak pedulikan masa yang telah tersungkur pada batasnya. Masih terdengar riuh riuh nyanyian amaranthea bergesekan dengan ilalang tebing Emerald. Tak adakah lagi yang abadi disana? Engkau bertanya. Hanya kau dapati mulutku terkatup terdiam, dan nafas malaikat terengah sekarat menanti pilihan ditentukan. Masih melaju pada deru matahari yang tertidur, ditindih kejamnya cakrawala membakar mata dengan kesedihan merajalela, menyisakan kehancuran porak poranda pada hati yang sama terluka. Di kejauhan sudut desa, orang orang tanpa sadar kehadiran kita, terus bernyanyi membelah dinginnya malam dengan kepalan dan anggur hasil ladang. Tak lagi terjawab apa yang kita pertanyakan, hanya masih harus menunggu matahari yang tertidur. Dan di belakang kita datanglah perasaan perasaan yang mengusik yang membunuh kita secara perlahan, sekarat menemani sang malaikat. Pada gelap nan dinginnya hutan Emerald dan hantu hantu dengan jeritan dan gaun berwarna merah, kita tegar pada jejakan tak bergeming sedikitpun disamping ia yang tengah sekarat menantikan mukjizat. Kendatipun tersayat hati kita dengan lukisan lukisan derita yang ia kanvaskan dari pejam matanya, menangislah ia meneteskan darah pada air matanya, membasahi pipinya yang beku dibelenggu bebatuan bukit gersang Emerald. Nafasnya mulai memburu, tangannya menggenggam meronta berusaha mencabik sekelilingnya sementara matanya terkoyak buta. Penglihatannya hanyalah hatinya yang pedih akan luka. Ia terus berjuang lepas dan meronta sementara tak lama pula matahari yang tengah tertidur akan kembali. Pada hadapannya membentang harapan dan kesungguhan, merubah amarah manusia jadi gelak tawa hada harapan penuh warna, dan tetap pada sayapnya yang perlahan mencoba mengepak, menerbangkan debu yang menombak mata kita. Tak ada yang dapat kita salahkan melainkan takdir dan mukjizat tengah datang menyelamatkan jiwanya dari luka luka sayatan, membawanya pulang pada singgasananya menghujani gersang Emerald dengan lembutnya salju, membangkitkan bangkai bangkai pohon Oak yang mati menjadi sabana penuh tulip berwarna jingga, membiaskan cahaya matahari yang tak lagi tertidur<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-76850267189116267872011-02-23T14:53:00.000+07:002011-02-23T14:53:24.833+07:00Denting FajarRatapan menjelang fajar mengalun pada setiap gelembung denting yang digubahkan pada benak seniman seniman penggambar rasa. Mengartikan warna kebencian dan kekecewaan pada dinamika nada, pada rentang bebunyian gemetaran menggerakkan dawai. Satu ujung, satu lain di pangkal sesekali lentingnya lucu bertabrakan. Aku berpikir diri ini belum lah cukup mempersiapkan kerusakan. Kenapa sempat runtuh bila tak sempat tanganmu bangun? Terperanjat sesekali, tertipu impresi yang sekilas seperti nada menurun pilu. Menjangkau dalamnya palung di hati. Di sisi lain ada suara-suara yang saling bersahutan beriringan menusuk dasar hati menjadikannya semakin parah bernanah. Kendati lagu pun telah pelan dimulai, masih ada rasa sedih dan gelisah, menciptakan sebuah bayangan yang menyiratkan lekat kesedihan. Harusnya sempat. Sementara di ujung lain dunia yang tengah lelah tertidur, terbaringlah tubuh penat setelah seharian ditekuk berpacu. Dan musik pun mengalun seiring. Hingga perlahan pudar suaranya termakan detik. Kita tunggu, dari awal berputar lagi.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq700quIAC-04azYzHkszkihnbcnek4sxiQH8FQXN5bl8RA5u252pYxogUgZxDbAMDtucxJC4nyWhHaEabrKkwbTxySvL-jdVpqwhl4go_rxopp8fddzK6zjmiLxA_FDwfAgOo9hmxFg/s1600/Foto009-001.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="213" width="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq700quIAC-04azYzHkszkihnbcnek4sxiQH8FQXN5bl8RA5u252pYxogUgZxDbAMDtucxJC4nyWhHaEabrKkwbTxySvL-jdVpqwhl4go_rxopp8fddzK6zjmiLxA_FDwfAgOo9hmxFg/s320/Foto009-001.jpg" /></a></div><div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-2316739875939483552011-02-23T14:51:00.001+07:002011-02-23T14:51:19.885+07:00Dongeng KitaDongeng tentang negeri setan. Meresapkan hikayat hikayat tentang dunia yang terbakar merah jenuh. Pada kelanjutan peraduan surya jingga masih mewarnai dunia mereka, telah disaksikan atas mereka bintang gemintang yang tengah sekarat. Redup kedipnya menyentuh mata hingga tenggelam dalam samudera jiwa pada kaki kakinya. Dalam hitamnya warna lautan terdalam, kita dihempas gaung meraung raung beterbangan dalam air. Tak ada apapun yang tengah berjalan dan melintas sepanjang penglihatan. Dalamnya lautan membungkam jeritan kesepian terlontar dari jiwa jiwa yang gelisah memendam dentuman murka. Pada bait baitnya aku mohonkan pergilah segera. Terlalu lama hati ini ditindih luka hingga cukup terasa pedihnya. Pergilah segera pada tempat selayaknya engkau berada. Aku bicara dengan bahasa luka yang memercik ke angkasa sebagai bunga ungu, beri cahaya untuk luka. Bukan tak ingin aku mendekat padamu memandang lamat lamat pipimu yang ranum dan menggerakkan tanganmu seperti boneka lincah mewarnai pagi. Bukan pula tak ingin aku menemanimu dengan suara paling merdu. Bukan pula tak ingin diriku mempersembahkanmu kata kata paling maha. Hanya inginkan diri, mengabdi sebagai kita. Kita ! Kita ! Kita !<br />
Dimanakah matahari? Sudut ruangan ini mulai beku. Lamat lamat dimakan pilu menyayat nyayat. Cobalah terka, getir apa di balik dinding dinding itu? Balada sejuk lembutnya perjalanan, menyisir tepian muara.<br />
Aku lihat bayangan bulan tertawa<br />
hendak tertidur dalam sekejap bermimpi, tentang wajah wajah bertanya dimana tempat membasuh luka, mencabut lara. Tersiar namanya membuncah pecah dalam kelabunya malam. Kerinduan ini tetap dalam bergemuruh. Tak cukup sekedar perjalanan, senyuman, dan memahat kenangan. Tak cukuplah sekedar perjalanan mengenang yang tak terlupakan.<br />
Dengarkan . . . Di ketinggian tengah berkecamuk kerinduan. Akan bertemu kita. Kapan lagi ?<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-1452920994537803222011-02-23T14:50:00.001+07:002011-02-23T14:50:10.162+07:00Rindu Dalam HujanHujan, ingatkan aku untuk menjaga langkahku mendekatinya, menembus kabut dan kedinginan mencekam dengan wajah penempa penuh dosa, hujan tuntunlah aku ke tempat selayaknya dia melihatku penuh tawa. Hujan, mandikanlah segenap kalbu dengan penuh resah rasa menyesal, menjadikan palung palungan hati penuh tempat dia menguburkan lara hati. Jadikan muaranya tempat ia membasuh kaki. Dijulur tangannya mengenalkan lembut dalam bisu bahasa merendamkan lidah lidah yang terluka, dalam tawadhu yang hina dina. Memandang jauh ke dalam rasa perih mengartikan tangisannya penuh duka dan rindu. Aku lihat basah matanya, menatap penuh pengharapan. Deru nafasnya meniup dekat wajahku membentangkan haluan haluan tempat dimana angin berterbangan pada satu titik arah yang sama. Sementara kami sedang tenggelam dalam arus yang murka menyeret kami dalam luka perpisahan. Ini bukanlah sekedar pedihnya lidah lidah penuh luka.Ini bukanlah air mata menebus masa. Ketika kelak lututku tak lagi teguh menopang bangga aku berbusung dada, kemudian lantas akan aku terduduk begitu saja menyesatkan diri pada tempat dimana pandangan umat manusia tiada lagi peduli, kepadaNYA yang maha menentukan hari pembalasan. Selagi masih darahku mengalir seiring masa, Tuhan siratkan pada penglihatanku untuk mengenang, telapak kakinya menapaki jalan mencari ku. Agar tersemat dalam relung hatiku, dimana tiap detik aku mencarinya, dia lah satu satunya keindahan yang mencariku. Kelak, dalam masa dan rasa yang lebih baik dari ini, ayah akan menjemputmu. Jangan bersedih...Aku pun rindu.<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-18552435895223173292011-02-23T14:49:00.001+07:002011-02-23T14:49:19.253+07:00Tengah TertidurAku mengenang . . .<br />
Satu perjalanan kita<br />
dalam bayangan lampau dengan penuh perlakuan, pada celah roda waktu sebagaimana detik ini<br />
hati kita bergemuruh, dalam dingin dan tidur<br />
sesekali sembari aku melongok keluar jendela<br />
kotak demi kotak jalanan aku persaksikan<br />
aku ingat warnanya<br />
wanginya . . .<br />
Kisahnya . . .<br />
Lamanya . . .<br />
Serta kenangannya<br />
setelah meretas masa sehari kita mencari arti jatidiri<br />
lagi kita menempa diri<br />
pada jalanan kejam merajam<br />
pada kota untaian darah pahlawan bertaburan<br />
di jalanan dengan riuh meraung raung<br />
aku terjemahkan lagi<br />
arti semua <br />
mencoba menggambar lagi genggaman tangan kita<br />
mencoba meluruskan lagi tapak kaki kita<br />
hingga tak terasa kerinduan ini semakin tenggelam mendalam<br />
bahasaku dalam benakmu<br />
cukup lugas menuliskan lugu<br />
bila saja bukan ini pilihan kita<br />
siapa yang menduga?<br />
Tuhan Engkau tau bagaimana indah insanMU bertemu.<br />
Engkau pun tau betapa pedih hati kami tercabik luka<br />
hamba hanya seorang papa, buta dan tersesat dalam gelap dunia luas. Tak ada lagi harapan yang hamba panutkan.<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-91795227887963601782011-02-23T14:48:00.001+07:002011-02-23T14:48:42.402+07:00Boneka Untuk Malaikat Kecilboneka kecil . . .<br />
Menandai dinding bisu kuning bening kamarmu<br />
bukan tentang kami saling membelakangi bahu<br />
bukan tentang basa basi gelap dan sepi membunuhku perlahan lahan<br />
mataku seolah terbungkus visi rabun<br />
menyapu kedip<br />
setelah terpancar gulungan luka diantara pedah tawa tawa yg sempat kita lontarkan<br />
sempat kita kesankan<br />
hingga sejauh ini kita tiba di seberang jalanan<br />
memulai pengembaraan, berangkat dari sebuah tangisan<br />
dalam dada ini, meledak ledak rongganya engkau rindukan selalu<br />
namun urat urat ini tiada kuasa berdaya<br />
seperti juara, dalam dongengmu<br />
entah tidak atau kah engkau ada bertanya<br />
warna apa yang menggelayuti benak ini<br />
seperti menggelora gemuruh suaranya<br />
melingkari bulat tercermin bayangan diri ini<br />
bukan tentang boneka kecil yang menemanimu penuh senyuman<br />
ini tentang bagaimana kami memaknai kehidupan<br />
jatuh pada satu pelajaran<br />
yang menampar telak wajah ini, di hadapanmu penuh cemburu<br />
mungkin bisa kau belajar dr sini<br />
jangan penatkan punggungmu membantingnya pada alas tidur<br />
kapan lagi mata ini bisa lamat lamat menatapmu<br />
kendatipun engkau tau cinta ini tiadalah palsu.<br />
Darahmu, darahku, darah kita berdesir di titik yang sama<br />
detak jantung kita menyuarakan seruan yang sama<br />
bukan mengalir pada irama<br />
atau megah nya tutur kata<br />
dewi kecil, katakan kepadaku haruskah tertinggal di jalanan itu<br />
kisah kisah kita<br />
cerita kocak kita<br />
tangis murka kita . . .<br />
Bukan ini jalan angin bertiup.<br />
Aku lihat dalam dirimu<br />
duniamu tersimpan dalam boneka kecil<br />
siapa tah pula yang tau<br />
dentuman rindu yang kau tak mau orang tau<br />
<br />
<br />
luapkan saja, aku menunggu<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4501749222928145887.post-9913036459056119792011-02-23T14:47:00.001+07:002011-02-23T14:47:12.572+07:00Ditampar Gersangnya SiangLaksana metafora, menyerupakan wujud dalam satu satuan detak<br />
menjamah yang jauh tiada terserak derik<br />
berani menentang mati . . . <br />
Menggenang air mata lena, jauh dari igauan birama<br />
dijejaki sajak terompah tua<br />
mengukirkan timpang sebelah jalanan<br />
aku meremas seikat bunga cyrocella, membengkokkan batangnya ke arah depan<br />
memantulkan jahat jahat omongan<br />
bagi mereka mereka, sarjana dalam pengembaraan<br />
yang ikrarnya tak akan mudah menilaikan sosok<br />
tak akan lupa pekat pertemanan<br />
kumandang suara tawanya mengelukar memapas khawatir yang sempat terisak<br />
ditindih tubuhmu dengan mimpi sempurnamu<br />
hai . . . Inilah kitab yang coba aku ramu<br />
bakal engkau tafsirkan, untuk setahun ke depan hidupmu<br />
jangan kau banting periukmu selagi masih mengunyah mulutmu<br />
tua-tua nan keras bermata tajam<br />
tak terjerat haluan dunia memandang bersaing<br />
seperti syair resi berwejang dekat telingaku,<br />
jangan tutup matamu menerjang buntu malam<br />
sebelum siang benar terbentang<br />
dengar sesekali kelepak parkitmu, yang tiada bermimpi bisa jauh terbang<br />
dimana?<br />
Pada matamu<br />
lihat! Lihat!<br />
Sajak ku buai telah membumbuimu<br />
dengan pikiran membelah otakmu<br />
jagal dalam dirimu, membunuh sendiri pandanganmu<br />
hari ini, pada komariah ke duapuluh lima<br />
sedu yang belum sempat rampung<br />
engkau buang beberapa hari lalu<br />
dalam lisanmu<br />
kemana lagi kau tega mengembara?<div class="blogger-post-footer"><object width="320" height="240" ><param name="allowfullscreen" value="true" /><param name="movie" value="http://www.facebook.com/v/1846021755292" /><embed src="http://www.facebook.com/v/1846021755292" type="application/x-shockwave-flash" allowfullscreen="true" width="320" height="240"></embed></object></div>Dedi Andrianto Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/12082006610427131553noreply@blogger.com0