Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Selasa, 31 Agustus 2010

Menyisihkan Gerimis

Menyisihkan Gerimis
oleh Dedi Andrianto Kurniawan pada 19 Agustus 2010 jam 4:56
Ada yang terkikis menyalami keretak angin sendiri. Luntur seakan perabot usang menghias sudut sudut ruangan menjadi tua seolah masa muda adalah neraka. Terbirit birit menyusuri marka marka, sampai tiba di ujung tindasan yang pedihnya bermuara di lautan luka. Sombongnya aku. Tertawa menganga seperti Batara Kala. Pandanganku menyindir kamu untuk menyingkir jauh dari jalanku. Tunggu! Tunggu! Ini tak benar! Ada yang salah. Kapan terakhir kali kamu ingat bahwa dirimu adalah lelaki, bukan pria. Pria yang metamorfosis sempurnanya sebagai pria penuh cahaya. Kamu adalah pria penuh cahaya. Tapi masih dalam tudung itu ganjil terasa. Seperti ada yang tertinggal dalam caramu menyempurnakan cara pandangmu tentang sesama, tentang manusia iba, tentang kelaparan di perut saudara, dan teriakan ketakutan dari yang butuh perlindungan . . . . Dimana bagian dari dirimu yang penuh cahaya? Badar penuh darah, lagi bertimpalan dalam jalanan. Sudi kiranya engkau menyeberang? Melihat meringis orang orang nyawanya tengah hilang. Bukan ruh, yang membuatmu gentar. Melainkan seberang jalan tempat engkau bertuju, ketika engkau tiba disana . . . Tak ada daya dihimpit rasa hiba, pada sesama yang engkau sia sia, pada lajur sebelumnya ditinggalkan masa. Bisakah masih engkau tertawa?

Selasa, 24 Agustus 2010

Gersana Anaraksa

Gersana Anaraksa menengadah pada hadirat megah angkasa yang jenjang menjulang menyibak butiran butiran embun dan menyapu ruang pandang menembus celah vertikal pada media simfoni mengenang rekaman rekaman kenangan yg pupus di belakang jalan. Aku berpijak pada tapal di muka mengurai lagi satu demi satu bayangan peri yang sudah memudar kerut demi kerut. Tak ada lagi melodi seindah matanya yg bercerita. Bersama jajaran berurutan detik ke menit ke jam ke hari ke minggu . . . Bayangan mata sang peri terus ada mengejarku. Pada hari yang rawan dan rentan sejenak aku menoleh pada balik balik tapal itu. . . Kulihat sang peri jatuh terjerembab terisak menahan sakitnya luka. Terpekur aku menatap bening tangisnya melesak pada hati yg menghiba betapa ketat aku ia jaga, namun tiada sadar semburat air matanya tercucur meregang dan meronta tertusuk kenyataan betapa kejam tanganku bak iblis yg menarik keluar jantungnya. Sang peri pun terluka, merintih terduduk diantara bebatuan pualam singgasananya. Ia memandangku dengan penuh pandangan letih seolah matanya mampu memercikkan secuil terangnya lentera memintal bahtera pada samudera hatiku, terombang ambing penat pada gelapnya. Aku coba lagi membalik kusam lembaran cerita yg sempat ia sematkan, tertoreh lagi kelakar kelakar betapa indahnya uraian hari ia rangkaikan. Tentang indahnya peri bermata kristal, yg bertarung seiring pundak ksatria Arca menumbangkan lebam lebam ketakutan akan mimpi buruk yg berulang. Tentang perihal bunga bakung yang ia semai jadikan sebuah istana pasadena yg dipenuhi maranatha dan bunga daisy. Membingkai anggun wajahnya pada kolong mahkota matahari, penuh warna kuning--warna senyuman--yang mengibaratkan dunia sebagai sebuah kecil persinggahan. Kulihat lagi betapa berkilau peri menyiratkan betapa hidupku adalah hamparan layar yg aku corengkan tinta noda di atasnya. Serta terkenang lagi senyuman itu. Senyuman bunga lily pagi atas jiwa seorang guru kata, memadatkan darah darah luka dan merenci tegak aku berdiri. Peri bermata kristal, sinar matanya masih sangat menggema di seantero sanubari hati melepuhkan angkuh dan sombong perjalanan, tatkala sekali lagi aku alami kenangan itu, kenangan betapa jarinya teduh memberikan percik kedamaian pada siang yg gersang, dan juru mudi yg kehilangan tonggak kemana ia merapalkan mata angin beterbangan. Peri . . . Bukan dosaku pergi meninggalkanmu, andai lebih dulu kau angkat aku. Peri . . . Katakan padaku masih ada cukup masa aku mengobati lukamu . . . . Dengan darah dan air mataku . . . . . .