Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Kamis, 18 November 2010

Merapal Anugerah

Setiap jua waktu senja, di sudut ruang lengkung terkesima dalam duka derita bersama waktu mengurung lara. Menebarkan jejaring menangkap telanjang wajah dunia, lewat benih benih mimpi nan disemai di ladang gersang. Burung berkelebat berdansa di angkasa menampik gerimis memandikan semua yang terlumatkan oleh jumawa. Terbang kian kemari menari nari digagahi pelangi. Membungkam seminya pagi. Tandas dalam arungan angin berangin, melarutkan aroma luka di pelupuk mata. Mata yang berbicara mata nun tiada kenal secumpuk dusta. Dihiasi gema pekak berlarian dikejar bayangan, dari terang benderang setelah badai menggantungkan ketakutan, tinggi di angkasa raya. Setelah senja, lengkung ruang pun dicampakkan keramaian. Sepi nya malam disahuti nyanyian belalang. Berderik membangunkan bebatuan. Nun lama kelamaan riuh bersahutan. Seperti perang. Seperti perang. Seperti perang. Sesekali dedaunan pasrah berjatuhan, memberi jeda pada jiwa jiwa yang terlantar waskita. Berdiri pada secarik tanah basah disirami murkanya gerimis membabi buta, disisipkan keraguan dalam dunia punya putaran. Senja dalam aneka rupa, menyanggah sepi yang dituduhkan atasnya, menjungkalkan diri ini dalam bebatuan di tebing sungai. Airnya berisik bergemericik. Aku hanyutkan saja jiwa ikuti alurnya. Ketika lara muaranya tertahan di lautan duka, baru waktunya sejenak berhenti, menyesakkan genggaman pada pedoman tempat jiwa ini pasrahkan perjalanan. Terkulai tak sadarkan diri di pinggiran muaranya, dalam senja yang perlahan ditelan cahaya kemalaman. Pada gemericik airnya yang masih terasa, aku melongok, bercermin pada air mengalir. Terlihat diri ini kian letih dan tua. KAMI paksakan saja tertawa, berai mengelupas semua warna luka, biar luntur semua pedih, biar tetap menggelantung semua mimpi, jangan mati. Lagipula telah datang pertanda, nun sempat kita lihat pada halaman lalu, tinggal lagi kita menunggu. Untuk esok, bilamana malaikat maut tak sempat singgah, masih bisa KAMI sadar dan buka mata, sambil lalu terbata bata menuntaskan kata lagi rindu, untuk anak-anak kita . . . . . . Disana . . . . . . . . . . Di tempat ia bercengkrama dengan dunia