Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Rabu, 09 Maret 2011

H I J A U

Terdampar di sabana Watumohai, hijaunya daun, dipayungi lagi rimbun. Lewat syair, Tuhan kita goda, meski perih, betis dilecut pucuk ilalang, jangan berhenti berlari, setapak tak berakhir disini. Hanyalah sebongkah batu menikam telapak kakimu, jangan sayu. Tengok dan tegakkan dagumu, lihat di ujung dengusmu, hamparan kehidupan sedang dilukiskan, di sabana Watumohai, dua lantai sebelum Edena, surga penuh cahaya. Kokoh dipagari benteng aura dan doa, megahnya menggema, menopang timur hingga ke kiblat mengembara dalam setiap ruang terisi angin dan cahaya. Tak ada gaduh tak ada gemuruh, lautan ilalang nan hijau dibentang menyelubung tanah pertiwi, memberinya hijau dan basah celah celah tanah, memberi minum bagi musafir musafir gila yang jiwanya direnggut Tuhan, menapaki lembut rumput dengan telanjang alas kaki, bersimpuh bersujud membaur dengan buih, yang deras titik demi titiknya jadi irama pasir, dideru angin, air dan dipanggang raja api, sang matahari, menuntunmu tempat dimana zamrud tertanam rapi. Kemana? Hendak kemana engkau? Jangan dulu beranjak pulang . . . Hari belum lagi senja, kita berlomba lari menceburkan diri di telaga, sedikit lagi senja menjemput ... Bersama, kita pulang ke haribaan

Senin, 07 Maret 2011

Selamat Datang Kepada terang

Beginilah pagi. Tak perduli seperti apa lebatnya hujan semalam, tetap beginilah pagi, selalu pekat dengan kabut dan angin yang tertidur. Seperti inilah pagi. Mulai bergeming manusia mencari pagi. Ke timur, ke barat, utara dan selatan. Pagi. Seperti pada belahan bagian bumi, melihat setapak setapak kian berkelok, menyusuri punggung bukit dan dituntun tahrim, seperti inilah pagi. Singgah sebentar. Ditutup dengan adzan. Seperti inilah pagi. Sesaat setelah dua rakaat, mulai ramailah pagi. Pancuran, dapur, surau, ladang bahkan di tepian hutan, pagi menyeruak dari rimbunan dedaunan, merasuk semakin dalam di setiap partikel materi, pagi datang. Pagi telah bernyawa. Ialah angin dalam hutan, bersembunyi semalam. Dijemputnya engkau, diajak serta menari. Hingga pagi . . . Kembali mati suri

Selasa, 01 Maret 2011

Malaikat Persimpangan

Kemarin, terngiang sediakala hembus bisikan yang mengetuk celah bebisuan gendang telinga. Terekam cermat, kata demi kata diringkas dalam hati. Menangguhkan pintu ke lorong waktu, menghempaskan wujud dalam ruang kosong mampat dari sudut ke sudut merambat satuan ke satuan. Diantara hujan dan kabut pekat, menapaki gelap semakin dekat, aku dibangunkan oleh gundukan gundukan jalanan. Melontarkan raga ku seakan langit masih tersisa satu hempasan nian. Terkesima, menggerayangi wajah wajah kota penuh hidup hiruk pikuk dan suara. Setengah sadar sebagian jiwa masih terisak dalam buaian Maimunah dan kain sulam, mataku dibelalakkan pemandangan, yang tak diberitakan dalam bunga tidur sepanjang perjalanan. Tanah ini, ibu pertiwinya dinda bestari, negeri tempat kalbu-kalbu ditempa besi, mulut dibungkam upeti, manusia tersenyum kesana kemari. Sementara lepas peduli, di sudut gardu, yang tengah berserakan sampah dan debu, malaikat kecil dicekik deru, mengais memiris, merajut satu per satu kaleng, untuk ditukar harapan esok hari. Adakalanya, raungan makhluk mesin menelan gempitanya, sesekali ia lemparkan pandangan ke jalanan, lorong tempat ia mungkin menghanyutkan keluhan. Kepadamu, kepadaku. Tentang pedih memar yang diretasnya, merah nanar mukanya murka, tapi sayapnya dibelenggu, selagi tak sampai isi hatinya sempat bergema. Kemana lagi? Wajah kota penuh tipu daya, apalah ia. . . . Malaikat dengan mimpi tak seberapa.