Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Minggu, 09 Oktober 2011

Puisi Iseng

Gersana Anaraksa menengadah pada hadirat megah angkasa yang jenjang menjulang menyibak butiran butiran embun dan menyapu ruang pandang menembus celah vertikal pada media simfoni mengenang rekaman rekaman kenangan yg pupus di belakang jalan. Aku berpijak pada tapal di muka mengurai lagi satu demi satu bayangan peri yang sudah memudar kerut demi kerut. Tak ada lagi melodi seindah matanya yg bercerita. Bersama jajaran berurutan detik ke menit ke jam ke hari ke minggu . . . Bayangan mata sang peri terus ada mengejarku. Pada hari yang rawan dan rentan sejenak aku menoleh pada balik balik tapal itu. . . Kulihat sang peri jatuh terjerembab terisak menahan sakitnya luka. Terpekur aku menatap bening tangisnya melesak pada hati yg menghiba betapa ketat aku ia jaga, namun tiada sadar semburat air matanya tercucur meregang dan meronta tertusuk kenyataan betapa kejam tanganku bak iblis yg menarik keluar jantungnya. Sang peri pun terluka, merintih terduduk diantara bebatuan pualam singgasananya. Ia memandangku dengan penuh pandangan letih seolah matanya mampu memercikkan secuil terangnya lentera memintal bahtera pada samudera hatiku, terombang ambing penat pada gelapnya. Aku coba lagi membalik kusam lembaran cerita yg sempat ia sematkan, tertoreh lagi kelakar kelakar betapa indahnya uraian hari ia rangkaikan. Tentang indahnya peri bermata kristal, yg bertarung seiring pundak ksatria Arca menumbangkan lebam lebam ketakutan akan mimpi buruk yg berulang. Tentang perihal bunga bakung yang ia semai jadikan sebuah istana pasadena yg dipenuhi maranatha dan bunga daisy. Membingkai anggun wajahnya pada kolong mahkota matahari, penuh warna kuning--warna senyuman--yang mengibaratkan dunia sebagai sebuah kecil persinggahan. Kulihat lagi betapa berkilau peri menyiratkan betapa hidupku adalah hamparan layar yg aku corengkan tinta noda di atasnya. Serta terkenang lagi senyuman itu. Senyuman bunga lily pagi atas jiwa seorang guru kata, memadatkan darah darah luka dan merenci tegak aku berdiri. Peri bermata kristal, sinar matanya masih sangat menggema di seantero sanubari hati melepuhkan angkuh dan sombong perjalanan, tatkala sekali lagi aku alami kenangan itu, kenangan betapa jarinya teduh memberikan percik kedamaian pada siang yg gersang, dan juru mudi yg kehilangan tonggak kemana ia merapalkan mata angin beterbangan. Peri . . . Bukan dosaku pergi meninggalkanmu, andai lebih dulu kau angkat aku. Peri . . . Katakan padaku masih ada cukup masa aku mengobati lukamu . . . . Dengan darah dan air mataku . . . . . .

Pesan Saat Pulang

Kelak akan tiba jua masanya, terpekur sepi dalam kamar serasa jeruji. Ayat sastra seribu arti, diulit mentari merah berhelah jasad setengah terengah menyibakkan pesanan, sebelum merentang perjalanan terakhir, dalam haribaan. Tiada lena diulit intan, dibekas pujian, ajal tiba tanpa perhitungan, tiada terkesima dijulung mata mata, membawa segenap yang dicintakan. Mengulit rinduan jadi kenangan tiada guna diundur masa sekalipun. Dalam tersengal, dibaitkan salam berpamitan, dimohonkan khilaf kezaliman, diikhlaskan segenap urusan. Tiada rela melepaskan sungguh sebak memuncak kesedihan dilantun ayat berbisik bertitian jadi tombak merepas dalamnya hati. Kilas terbias, masa jayamu pada padi segemal jadikan sebutir seribu amal. Dedaun diulam jadikan enyam, dengan gigih isikan hati ilmu kebesaran. Semasa ini, sendu dan tangis terdengar sayup, menghantar kepulangan, terbang ke langit lupakan bumi, lupakan kami. Pada urusan nian hakiki. Hujan gerimis gemeraut heningkan nada, hanya mawas diri jadi nahkoda, dalam selamat hidup berbakti, menjelang ajal tutup berganti

Cahaya

Adalah cahaya, yang memoles wajah serambi menjelang hari. Berbilik bilik detik ke detik, denting nya berputar seirama nafas yang memadatkan rongga dada. Mengisinya dengan gelap dan terang. Adalah jendela, tempat engkau jengukkan sedikit pandang mengintip apa yang darimu dunia sembunyikan. Angin, dedaunan terusik ditampar jejarian hembusan lewat celah celah dahan terombang ambing. Cahaya, menjadikannya berdiri penuh warna, kelabu dan merona, seperti selendang sutera. Namun bukan tabu buat dunia menentang cahaya, seketika matamu pedih terbarus air mata, dari pemandangan-pemandangan perih menggores hati, dalam dunia yang tak setiap kala engkau persaksikan. Cobalah singkap apa yang darimu cahaya sembunyikan. Kesana, diantara ilalang berkerumun, dibalik lagi tandus tanah kota meronta. Bayi bayi berduka, mohon dengan tangis engkau isi perutnya.