Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Rabu, 14 Januari 2015

Harapan

Sudah remah, direkasnya umpang runtuh bergemuruh hancur berserakan tiada menyisakan buluh sebuku buku. Berderap hempasannya digema tanah pijak. Baku mundur baku singkir. Satu-dua langkah gentar gemetar. Seperti perang badar. Berdasawarsa sudah ruam dalam lesak di sanubari, bekas tercabik hari petang yang lalu, yang sempat aurnya melesat kenai jantung berdegup. Dup dup dup, melemah dan lalu kaku. Kami mati! Kami mati! -begitu tukasnya. Berderit nafasnya bergelombang diburu bayangan putus harapan, membawanya ke haribaan altar dan mengemis, Tuhan, harapan kami mati. Jangan biarkan. Jangan . . . Biarkan . . . Kemanapun lenyapnya.

Minggu, 08 Juli 2012

Dunia Meludah

Butiran-butiran dalam kotak membiaskan kibasan cahaya menggelepar dalam roh roh suara. Memilinnya jadi kisah kisah angin yang berputar dan terhempas, pada runcing jeruji jeruji besi. Sejenak sang waktu menghela nafas memadati rongga dada yang sekak terpilin kuburan dan timbunan kegelapan. Dalam dingin beku gelap sesak dan mencekak, masih dibiarkannya kosong lorong lorong menuntunnya. Pada kotak kecil, terpekur kisah dililit bisikan nan kejauhan terdengar samar memilukan, perihal insan insan buta, berjalan padanya dengan wajah wajah berlumur tetesan dosa suram dan buram. Dengarkan, dunia memanggil, melambai merantah kelah. Dengan tentang sombong sesumbaran berdigdaya membakar neraka meluluhlantakkan sorga. Menorehkan noktah pada langit malam yang indahnya dilukis malaikat oleh nama nama pepujian Tuhan, menggemuruh dalam teriak pekak tenggelam bermawa. Jam pasir, menitikkan butiran butiran harapan, menyisakan sekotak suara lagi. Biar mengembara dunia bawa manusia . . . Hari esok mereka habiskan disini, tinggal binasa terhitung hari.

Syal Jingga

Dan langit pun menumpahkan butiran hujan mengerutkan wajahnya dipercik setitik demi setitik. . . . Lagi bening sinar dibias-bias . Menjelang senja, sayap sayap berhenti mengepak di sarangnya. Hening seketika. Hanya gemericik menari menggelitik jadi tabuhan perayaan penggemar yang tertidur di sudut sofa, dalam gelapnya serambi penuh nyamuk dan laba laba. Dalam hujan, seperti talu diketuk, mendendangkan sinis panggil panggilan, untuknya yang terdiam di balik kaca. Sekalipun bulirnya hujan ditampik tanah tanah lepas, tiada daya juga dingin merangsek dalam tebal syal jingga. Lalu kemana? Kemana hujan pergi? Sesudah kedip ditipu lari, syal jingga dibalik kaca. Dengan topeng merah muda. Memecah hujan dikurung serambi. Kemana engkau lari sembunyi? Kembali! Hujan segera datang lagi . . . Biar terkibas, syal jingga jadi sutera. Sutera hujan insan menyebutnya. Jangan sembunyi! Hujan kian berat, butirnya kian tajam mendera. Dalam angin, dedahan jadi panduan, biar diayun keras, patah ranting harap lama terasing, cari syal jingga dibalik kaca membisu dikubur bahasa. Bahasa hujan, gelap dan senja, siapapun namanya . . .

Garis

Setelah dihapus titik debu. Meraung raung ditindihnya jerih. Atau sebab dosa dibukakan satu luka? Terbelenggu pukat pukat kasat mata, gemas geram mataku dibuatnya buta. Meraba setelah disiksa. Begitulah pula ingatan, kemana lari diburunya jua. Lalu dijawabnya pendek kata ; kalah! 

Bahasa Jaring dan Pukat

Selamat pagi suara, dilagukan hikayat bunga kemuning, setiap pagi menentang terang dibalik dedaunan ditampik. Tadi malam angin datang tersengal pongah, diburu buritannya menjaring setiap jejaknya. Seperti musuh, membeku-hancurkan apapun bercokol dijalanan, pria pria bertudung sarung. Ditikam tikam suara ini. Sampai angin tak bergerak lagi . . .