Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Minggu, 08 Juli 2012

Dunia Meludah

Butiran-butiran dalam kotak membiaskan kibasan cahaya menggelepar dalam roh roh suara. Memilinnya jadi kisah kisah angin yang berputar dan terhempas, pada runcing jeruji jeruji besi. Sejenak sang waktu menghela nafas memadati rongga dada yang sekak terpilin kuburan dan timbunan kegelapan. Dalam dingin beku gelap sesak dan mencekak, masih dibiarkannya kosong lorong lorong menuntunnya. Pada kotak kecil, terpekur kisah dililit bisikan nan kejauhan terdengar samar memilukan, perihal insan insan buta, berjalan padanya dengan wajah wajah berlumur tetesan dosa suram dan buram. Dengarkan, dunia memanggil, melambai merantah kelah. Dengan tentang sombong sesumbaran berdigdaya membakar neraka meluluhlantakkan sorga. Menorehkan noktah pada langit malam yang indahnya dilukis malaikat oleh nama nama pepujian Tuhan, menggemuruh dalam teriak pekak tenggelam bermawa. Jam pasir, menitikkan butiran butiran harapan, menyisakan sekotak suara lagi. Biar mengembara dunia bawa manusia . . . Hari esok mereka habiskan disini, tinggal binasa terhitung hari.

Syal Jingga

Dan langit pun menumpahkan butiran hujan mengerutkan wajahnya dipercik setitik demi setitik. . . . Lagi bening sinar dibias-bias . Menjelang senja, sayap sayap berhenti mengepak di sarangnya. Hening seketika. Hanya gemericik menari menggelitik jadi tabuhan perayaan penggemar yang tertidur di sudut sofa, dalam gelapnya serambi penuh nyamuk dan laba laba. Dalam hujan, seperti talu diketuk, mendendangkan sinis panggil panggilan, untuknya yang terdiam di balik kaca. Sekalipun bulirnya hujan ditampik tanah tanah lepas, tiada daya juga dingin merangsek dalam tebal syal jingga. Lalu kemana? Kemana hujan pergi? Sesudah kedip ditipu lari, syal jingga dibalik kaca. Dengan topeng merah muda. Memecah hujan dikurung serambi. Kemana engkau lari sembunyi? Kembali! Hujan segera datang lagi . . . Biar terkibas, syal jingga jadi sutera. Sutera hujan insan menyebutnya. Jangan sembunyi! Hujan kian berat, butirnya kian tajam mendera. Dalam angin, dedahan jadi panduan, biar diayun keras, patah ranting harap lama terasing, cari syal jingga dibalik kaca membisu dikubur bahasa. Bahasa hujan, gelap dan senja, siapapun namanya . . .

Garis

Setelah dihapus titik debu. Meraung raung ditindihnya jerih. Atau sebab dosa dibukakan satu luka? Terbelenggu pukat pukat kasat mata, gemas geram mataku dibuatnya buta. Meraba setelah disiksa. Begitulah pula ingatan, kemana lari diburunya jua. Lalu dijawabnya pendek kata ; kalah! 

Bahasa Jaring dan Pukat

Selamat pagi suara, dilagukan hikayat bunga kemuning, setiap pagi menentang terang dibalik dedaunan ditampik. Tadi malam angin datang tersengal pongah, diburu buritannya menjaring setiap jejaknya. Seperti musuh, membeku-hancurkan apapun bercokol dijalanan, pria pria bertudung sarung. Ditikam tikam suara ini. Sampai angin tak bergerak lagi . . . 

Ditombak Matahari


Terimakasih senja, butir butir air mata engkau gerus jadi hujan mendera.Jatuh lebat berdegum memekak bumi, tinggal tersisa rekahan rekahan luka dinukil waktu biar lekang kering dan menoktah jiwa hingga besok engkau datang lagi senja.
Tidak lagi menanti, biar waktu mengaburkan lebam luka dan peri rasa, julurkan saja tanganmu senja, biar bergelayut detik beku di sisi sebelah ini, tidak lagi matahari remat membakar dan menombak terak jiwa ini.
Lemparkan saja setinggi cahaya bisa menangkap, jatuhnya nun jua ke haribaan senja.
Dengarkan yang melengking, jauh menggema, membunuh memekakkan telinga.
Rasa sakit yang menganga, dibenamkan dalam timbunan harapan . . . dan kesempatan.
Tunggu aku senja . . . sehari lagi . . . biar sempat tangan ini . . . menombak kembali . . . sang matahari  

Pantai Merah


Selalu basah datang pagi dibasuh embun dari kabut yang turun menukik dari tinggi pun dedahan membendung.
 tadiBersembunyi dari jilatan petir semalam yang temaram, tibalah pagi masanya bertandang dengan kelok jalanan. Mengarung dari tempat lahirnya cahaya menzahirkan suara menjadi warna. Setelah pagi terang terang bercahaya.
Bagya menapaki sejengkal demi sejengkal negeri yang mengapung, yang teduh dinaungi rindang belantara nun dimandikan percikan nakal bekas pelangi tadi.
Sesekali bersiasat dengan torehan petir semata, sengatnya menjarum, dalam cahyanya mendetas diujungkan jalanan ke arah sini situ, di negeri yang mengapung, raman menopang dunia.
Berjalan kami menjemput semenanjung, hempas hempas ombak jauh mengundang datang, terkabar dari puncak negeri terapung, tengah datang kami berkafilah, tunggu jua sedikit masa.
Kami datang . . . .  

Jendela

Jendela kecil, tempat kepada cahaya anggun terbingkai. Jadi gerbang sedikit pandangan menapaki gelap jalanan gang di samarnya malam. Menari, menemani suara dan gema yang bertumbukan. Dari jendela tempat memandang kehidupan. Kepada jalanan, bayangannya ditumpahkan. Cahaya, berjuta deratnya ribu rasa pengecapnya. Seperti memuntahkan warna warna, tak terbendung. Segera lalu setelahnya mengabarkan, tentang apa yang berdenting. Tentang bagaimana birama kehidupan berjalan. Keras lembut detaknya dunia. Lewat layar angin dan embun, tinggi terbang pijakan tertepak. Meski tiada sayap, jendela di ketinggian, jadi teman, mengarungi kosong senja, terbang kemanapun awan menelan cahaya. Jauh di atas bendera bendera yang ditera, kami terbang menyaksikan dunia, lewat jendela. Dalam pusara tawa, tengah seminya tangis berbunga, kami direnggut. Dan kelak pun pulang bawa cerita. Bahwa sempat gantungkan mimpi, lewat jendela kecil, di sebuah serambi. Menghadang senja, kita pada jendela . . . .