Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Minggu, 27 Februari 2011

Cahaya

Adalah cahaya, yang memoles wajah serambi menjelang hari. Berbilik bilik detik ke detik, denting nya berputar seirama nafas yang memadatkan rongga dada. Mengisinya dengan gelap dan terang. Adalah jendela, tempat engkau jengukkan sedikit pandang mengintip apa yang darimu dunia sembunyikan. Angin, dedaunan terusik ditampar jejarian hembusan lewat celah celah dahan terombang ambing. Cahaya, menjadikannya berdiri penuh warna, kelabu dan merona, seperti selendang sutera. Namun bukan tabu buat dunia menentang cahaya, seketika matamu pedih terbarus air mata, dari pemandangan-pemandangan perih menggores hati, dalam dunia yang tak setiap kala engkau persaksikan. Cobalah singkap apa yang darimu cahaya sembunyikan. Kesana, diantara ilalang berkerumun, dibalik lagi tandus tanah kota meronta. Bayi bayi berduka, mohon dengan tangis engkau isi perutnya.

Sabtu, 26 Februari 2011

Paradoks Dua Suara

Seperti subuh, alang-alang dan ilalang menggelepar dihujani adzan. Belalang dan wereng tunduk sayu dipelintir rintihan dzikir dan seruan orang orang yang merindukan sandaran. Aku lihat kegelapan sekitar. Hanya ada bebatuan dan gemericik air kali di kejauhan, mengisi retak demi retak menjelang subuh ini pagi. Berputar bumi, menggeser timur kepada barat dan barat kepada timur. Dari buku buku, halaman-halaman baru rampung tertata rapi. Pada mata seorang kawan aku menyaksikan dimulainya kehidupan penuh gelora pergulatan. Memberikan kisah untuk ia tuntaskan. Tentang seorang kawan, sebagaimana rindu ibundanya dipeluk keharuan, dielu, dirayu, dan bermanja di atas pangku. Sebagian sanubarinya berdesir memimpikan hidup laik kawan sekehidupan. Panggung ini, tajuknya dunia. Dilakonkan oleh insan insan sepertinya, seperti ia memandang pun sesama, dalam alur punaka, hikayatnya sumbang kemerduan, kisah yang menyanyikan sesekali sesak keluh kesah dan kekecewaan, nun iramanya satu satu tersuarakan. Hidup ini nakal. Terkadan

g menyembunyikan masa depan. Adakalanya ia menyembulkan kenyataan yang menampar keras keras mukanya sehingga tersadar bahwa seseorang sepertinya, adalah ibunda tersirat dalam dirinya.

Rabu, 23 Februari 2011

Matahari Tertidur

Menyadar betapa jauh telah kita tempuh. Tak satupun ada sesuatu yg tertinggal di batasan masa. Kita menelisik lagi liuk liuk ranting yang menjulur menjadikan bingkai sejarah kita toreh padanya. Membangunkan matahari yang tertidur. Bersama kita berlari mendobrak gundukan demi gundukan pada satu arah yang sama. Teringat lagi satu dongeng tentang dirimu dan aku. Pada masa kita larut dalam tawa pecah di danau geyser pada ladang ork di kaki bukit Emerald, mengadu pada mimpi mimpi buruk semalam. Pada penglihatan yang kandas di ujung dermaga, sempat kita membanting pandangan terajang pada hulu bebatuan sungai Salmon kita menyaksikan malaikat bersayap tercampakkan pada tepi sungai terkubur ilalang dan amaranthea. Dengan balur luka menyelubungi tubuhnya, ia bernafas namun tiada sanggup mengepak lagi sayapnya. Seperti cahaya yang berpijar pada puncak bukit gelap Emerald. Masih dapat aku ingat bersama kita panggul ia menuju lumbung kita, mencarikan tempatnya menyembuhkan luka memberikan harapan seterang cahaya, membiarkan angin mengeringkan air matanya sementara dudukannya kita ganjal dengan karung gandum ditemani erangan kesakitan. Malaikat yang malang. Kita teduhkan ia pada rindangnya warna abu abu dan dibelai symphony paling menyayat hati yang pernah ia hayati. Memberikannya warna yang tak terhingga di dalam hati. Tak ada lagi suara yang menggema pada tebing tebing Emerald yang bisu dan burung burung Nazar pemakan bangkai. Perlahan kita biarkan ia mengalun perlahan memberikan irama pada hidupnya, menggandengnya pada hidup yang nyata, sehingga tak lagi terbaca alur alur nadanya yang mematahkan air mata berderai. Penuh jiwa dia goreskan warna. Menunggu keajaiban datang menghampiri, atau dikandaskan gema gema yang merusak, mendenting setiap detakan pada jantungnya hingga sayapnya dapat lagi mengepak. Sementara ia kita biarkan menanti, persiapkan saja gita gita pepujian bagi jiwa jiwa yang mati. Agar dapat mereka temukan jalan mencari cahaya sebenarnya. Berlomba menumbangkan masa, menjerit sekerasnya tanpa ragu tumbang suaranya. Dan tetaplah tangan kita mengobati sayapnya yang penuh luka. . Sembari terus sejalan ditemani denting denting berlaluan kita acuhkan. Kita berjaya mewarnai takdir dengan gema dan suara, dan jeritan, pada lulaby lulaby untuk iblis yang tengah bermimpi. Menuju pada hari yang gelap dimana matahari kembali tertidur, meredam gema yang terbingkai pada sayatan sayatan symphony. Detak jantungnya terus saja menghentak tak pedulikan masa yang telah tersungkur pada batasnya. Masih terdengar riuh riuh nyanyian amaranthea bergesekan dengan ilalang tebing Emerald. Tak adakah lagi yang abadi disana? Engkau bertanya. Hanya kau dapati mulutku terkatup terdiam, dan nafas malaikat terengah sekarat menanti pilihan ditentukan. Masih melaju pada deru matahari yang tertidur, ditindih kejamnya cakrawala membakar mata dengan kesedihan merajalela, menyisakan kehancuran porak poranda pada hati yang sama terluka. Di kejauhan sudut desa, orang orang tanpa sadar kehadiran kita, terus bernyanyi membelah dinginnya malam dengan kepalan dan anggur hasil ladang. Tak lagi terjawab apa yang kita pertanyakan, hanya masih harus menunggu matahari yang tertidur. Dan di belakang kita datanglah perasaan perasaan yang mengusik yang membunuh kita secara perlahan, sekarat menemani sang malaikat. Pada gelap nan dinginnya hutan Emerald dan hantu hantu dengan jeritan dan gaun berwarna merah, kita tegar pada jejakan tak bergeming sedikitpun disamping ia yang tengah sekarat menantikan mukjizat. Kendatipun tersayat hati kita dengan lukisan lukisan derita yang ia kanvaskan dari pejam matanya, menangislah ia meneteskan darah pada air matanya, membasahi pipinya yang beku dibelenggu bebatuan bukit gersang Emerald. Nafasnya mulai memburu, tangannya menggenggam meronta berusaha mencabik sekelilingnya sementara matanya terkoyak buta. Penglihatannya hanyalah hatinya yang pedih akan luka. Ia terus berjuang lepas dan meronta sementara tak lama pula matahari yang tengah tertidur akan kembali. Pada hadapannya membentang harapan dan kesungguhan, merubah amarah manusia jadi gelak tawa hada harapan penuh warna, dan tetap pada sayapnya yang perlahan mencoba mengepak, menerbangkan debu yang menombak mata kita. Tak ada yang dapat kita salahkan melainkan takdir dan mukjizat tengah datang menyelamatkan jiwanya dari luka luka sayatan, membawanya pulang pada singgasananya menghujani gersang Emerald dengan lembutnya salju, membangkitkan bangkai bangkai pohon Oak yang mati menjadi sabana penuh tulip berwarna jingga, membiaskan cahaya matahari yang tak lagi tertidur

Denting Fajar

Ratapan menjelang fajar mengalun pada setiap gelembung denting yang digubahkan pada benak seniman seniman penggambar rasa. Mengartikan warna kebencian dan kekecewaan pada dinamika nada, pada rentang bebunyian gemetaran menggerakkan dawai. Satu ujung, satu lain di pangkal sesekali lentingnya lucu bertabrakan. Aku berpikir diri ini belum lah cukup mempersiapkan kerusakan. Kenapa sempat runtuh bila tak sempat tanganmu bangun? Terperanjat sesekali, tertipu impresi yang sekilas seperti nada menurun pilu. Menjangkau dalamnya palung di hati. Di sisi lain ada suara-suara yang saling bersahutan beriringan menusuk dasar hati menjadikannya semakin parah bernanah. Kendati lagu pun telah pelan dimulai, masih ada rasa sedih dan gelisah, menciptakan sebuah bayangan yang menyiratkan lekat kesedihan. Harusnya sempat. Sementara di ujung lain dunia yang tengah lelah tertidur, terbaringlah tubuh penat setelah seharian ditekuk berpacu. Dan musik pun mengalun seiring. Hingga perlahan pudar suaranya termakan detik. Kita tunggu, dari awal berputar lagi.

Dongeng Kita

Dongeng tentang negeri setan. Meresapkan hikayat hikayat tentang dunia yang terbakar merah jenuh. Pada kelanjutan peraduan surya jingga masih mewarnai dunia mereka, telah disaksikan atas mereka bintang gemintang yang tengah sekarat. Redup kedipnya menyentuh mata hingga tenggelam dalam samudera jiwa pada kaki kakinya. Dalam hitamnya warna lautan terdalam, kita dihempas gaung meraung raung beterbangan dalam air. Tak ada apapun yang tengah berjalan dan melintas sepanjang penglihatan. Dalamnya lautan membungkam jeritan kesepian terlontar dari jiwa jiwa yang gelisah memendam dentuman murka. Pada bait baitnya aku mohonkan pergilah segera. Terlalu lama hati ini ditindih luka hingga cukup terasa pedihnya. Pergilah segera pada tempat selayaknya engkau berada. Aku bicara dengan bahasa luka yang memercik ke angkasa sebagai bunga ungu, beri cahaya untuk luka. Bukan tak ingin aku mendekat padamu memandang lamat lamat pipimu yang ranum dan menggerakkan tanganmu seperti boneka lincah mewarnai pagi. Bukan pula tak ingin aku menemanimu dengan suara paling merdu. Bukan pula tak ingin diriku mempersembahkanmu kata kata paling maha. Hanya inginkan diri, mengabdi sebagai kita. Kita ! Kita ! Kita !
Dimanakah matahari? Sudut ruangan ini mulai beku. Lamat lamat dimakan pilu menyayat nyayat. Cobalah terka, getir apa di balik dinding dinding itu? Balada sejuk lembutnya perjalanan, menyisir tepian muara.
Aku lihat bayangan bulan tertawa
hendak tertidur dalam sekejap bermimpi, tentang wajah wajah bertanya dimana tempat membasuh luka, mencabut lara. Tersiar namanya membuncah pecah dalam kelabunya malam. Kerinduan ini tetap dalam bergemuruh. Tak cukup sekedar perjalanan, senyuman, dan memahat kenangan. Tak cukuplah sekedar perjalanan mengenang yang tak terlupakan.
Dengarkan . . . Di ketinggian tengah berkecamuk kerinduan. Akan bertemu kita. Kapan lagi ?

Rindu Dalam Hujan

Hujan, ingatkan aku untuk menjaga langkahku mendekatinya, menembus kabut dan kedinginan mencekam dengan wajah penempa penuh dosa, hujan tuntunlah aku ke tempat selayaknya dia melihatku penuh tawa. Hujan, mandikanlah segenap kalbu dengan penuh resah rasa menyesal, menjadikan palung palungan hati penuh tempat dia menguburkan lara hati. Jadikan muaranya tempat ia membasuh kaki. Dijulur tangannya mengenalkan lembut dalam bisu bahasa merendamkan lidah lidah yang terluka, dalam tawadhu yang hina dina. Memandang jauh ke dalam rasa perih mengartikan tangisannya penuh duka dan rindu. Aku lihat basah matanya, menatap penuh pengharapan. Deru nafasnya meniup dekat wajahku membentangkan haluan haluan tempat dimana angin berterbangan pada satu titik arah yang sama. Sementara kami sedang tenggelam dalam arus yang murka menyeret kami dalam luka perpisahan. Ini bukanlah sekedar pedihnya lidah lidah penuh luka.Ini bukanlah air mata menebus masa. Ketika kelak lututku tak lagi teguh menopang bangga aku berbusung dada, kemudian lantas akan aku terduduk begitu saja menyesatkan diri pada tempat dimana pandangan umat manusia tiada lagi peduli, kepadaNYA yang maha menentukan hari pembalasan. Selagi masih darahku mengalir seiring masa, Tuhan siratkan pada penglihatanku untuk mengenang, telapak kakinya menapaki jalan mencari ku. Agar tersemat dalam relung hatiku, dimana tiap detik aku mencarinya, dia lah satu satunya keindahan yang mencariku. Kelak, dalam masa dan rasa yang lebih baik dari ini, ayah akan menjemputmu. Jangan bersedih...Aku pun rindu.

Tengah Tertidur

Aku mengenang . . .
Satu perjalanan kita
dalam bayangan lampau dengan penuh perlakuan, pada celah roda waktu sebagaimana detik ini
hati kita bergemuruh, dalam dingin dan tidur
sesekali sembari aku melongok keluar jendela
kotak demi kotak jalanan aku persaksikan
aku ingat warnanya
wanginya . . .
Kisahnya . . .
Lamanya . . .
Serta kenangannya
setelah meretas masa sehari kita mencari arti jatidiri
lagi kita menempa diri
pada jalanan kejam merajam
pada kota untaian darah pahlawan bertaburan
di jalanan dengan riuh meraung raung
aku terjemahkan lagi
arti semua
mencoba menggambar lagi genggaman tangan kita
mencoba meluruskan lagi tapak kaki kita
hingga tak terasa kerinduan ini semakin tenggelam mendalam
bahasaku dalam benakmu
cukup lugas menuliskan lugu
bila saja bukan ini pilihan kita
siapa yang menduga?
Tuhan Engkau tau bagaimana indah insanMU bertemu.
Engkau pun tau betapa pedih hati kami tercabik luka
hamba hanya seorang papa, buta dan tersesat dalam gelap dunia luas. Tak ada lagi harapan yang hamba panutkan.

Boneka Untuk Malaikat Kecil

boneka kecil . . .
Menandai dinding bisu kuning bening kamarmu
bukan tentang kami saling membelakangi bahu
bukan tentang basa basi gelap dan sepi membunuhku perlahan lahan
mataku seolah terbungkus visi rabun
menyapu kedip
setelah terpancar gulungan luka diantara pedah tawa tawa yg sempat kita lontarkan
sempat kita kesankan
hingga sejauh ini kita tiba di seberang jalanan
memulai pengembaraan, berangkat dari sebuah tangisan
dalam dada ini, meledak ledak rongganya engkau rindukan selalu
namun urat urat ini tiada kuasa berdaya
seperti juara, dalam dongengmu
entah tidak atau kah engkau ada bertanya
warna apa yang menggelayuti benak ini
seperti menggelora gemuruh suaranya
melingkari bulat tercermin bayangan diri ini
bukan tentang boneka kecil yang menemanimu penuh senyuman
ini tentang bagaimana kami memaknai kehidupan
jatuh pada satu pelajaran
yang menampar telak wajah ini, di hadapanmu penuh cemburu
mungkin bisa kau belajar dr sini
jangan penatkan punggungmu membantingnya pada alas tidur
kapan lagi mata ini bisa lamat lamat menatapmu
kendatipun engkau tau cinta ini tiadalah palsu.
Darahmu, darahku, darah kita berdesir di titik yang sama
detak jantung kita menyuarakan seruan yang sama
bukan mengalir pada irama
atau megah nya tutur kata
dewi kecil, katakan kepadaku haruskah tertinggal di jalanan itu
kisah kisah kita
cerita kocak kita
tangis murka kita . . .
Bukan ini jalan angin bertiup.
Aku lihat dalam dirimu
duniamu tersimpan dalam boneka kecil
siapa tah pula yang tau
dentuman rindu yang kau tak mau orang tau


luapkan saja, aku menunggu

Ditampar Gersangnya Siang

Laksana metafora, menyerupakan wujud dalam satu satuan detak
menjamah yang jauh tiada terserak derik
berani menentang mati . . .
Menggenang air mata lena, jauh dari igauan birama
dijejaki sajak terompah tua
mengukirkan timpang sebelah jalanan
aku meremas seikat bunga cyrocella, membengkokkan batangnya ke arah depan
memantulkan jahat jahat omongan
bagi mereka mereka, sarjana dalam pengembaraan
yang ikrarnya tak akan mudah menilaikan sosok
tak akan lupa pekat pertemanan
kumandang suara tawanya mengelukar memapas khawatir yang sempat terisak
ditindih tubuhmu dengan mimpi sempurnamu
hai . . . Inilah kitab yang coba aku ramu
bakal engkau tafsirkan, untuk setahun ke depan hidupmu
jangan kau banting periukmu selagi masih mengunyah mulutmu
tua-tua nan keras bermata tajam
tak terjerat haluan dunia memandang bersaing
seperti syair resi berwejang dekat telingaku,
jangan tutup matamu menerjang buntu malam
sebelum siang benar terbentang
dengar sesekali kelepak parkitmu, yang tiada bermimpi bisa jauh terbang
dimana?
Pada matamu
lihat! Lihat!
Sajak ku buai telah membumbuimu
dengan pikiran membelah otakmu
jagal dalam dirimu, membunuh sendiri pandanganmu
hari ini, pada komariah ke duapuluh lima
sedu yang belum sempat rampung
engkau buang beberapa hari lalu
dalam lisanmu
kemana lagi kau tega mengembara?

Tak Ada Yang Mendengar

Tak ada yang mendengar dalam senyap dan getir nya hati ini dibasuh tadarus, setitik mataku menerawang gambar kalian, mata berair yang tak pernah menyerah dalam darah yang cair. Pada kerumunan yang mendegap kelakan tanah, diantara kaki kaki kecil kalian . . . Berbalur kotor dan kumuh, sejurus pun tak tersentuh gelimang peradaban yang ujar mereka tercipta atas predikat makhluk mulia. Jika dada rasa hampa, tinggal kalian hamburkan saja irama irama nakal. Berkicau selemas lidah terkelupas. Tak mengenal tepian pantai dicacah ombak lelah bertubi. Diliputi pasir, bekas pengembara lagi sempat mengarung. Tak ada lurus kaku pohonan.
Namun mukjizat menghantam nuraniku . . . Tiap kala aku tatap wajah itu. Penuh hiba dan tak tersentuh dosa. Bukan salahmu!
Hanya saja mungkin kami tak punya cukup waktu. Membelalakkan mata, melihat bagaimana kalian terguncang tangis dan derita
mungkin kami tertidur hingga tuli
mungkin saja kami sudah mual
tapi dalam nuraniku, yang masih menyala membakar cara . . . Rasanya tak ingin berlama lama hidup di dunia

Doa Dalam Kelepak

Jikamana memang waktu tak punya pintu. Aku takut berjalan sendirian dibuntuti bayangan perempuan bersayap iblis. Trauma suara merayapi pancaroba yang memampatkan sisa masa. Kau seperti berjalan di kosong lorong yang panjang yang cahayanya surup terjual petang. Du du du . . . Ide ide dalam kepalaku masih menggelegar menambatkan inginku akan lelap tidur pada marah akan suara suara mengganggu. Denting nya jarum jam mengurung tubuhku pada kotak di sudut meja terpaku murung pada nasib yang jadi seteru. Di jendela pada sisi sebelah timur celahnya menyilaukan ditikam cahaya sore. Menjelang datang satu lagi petang. Aku selalu mencintai subuh, tetapi tidak pagi karena aku seperti diguncangkan risih bebunyian mengganggu dan tawa orang orang berbelanja makanan. Aku bukannya tak suka memandang nikmat dedaunan hijau menari menggeliat. Hanya saja ingin aku terlalu sibuk. Inginnya aku mengunci diriku pada kotak buku sendiri. Hidup dan mati dengan satu arti, bukan jutaan yang kalian maknai pada ampas kopi dan kepulan asap rokok. Coba lagi katakan bilamanan otot otot ini sudah beranjak lemah tak lagi menjamah. Tubuh ini hendak terasa seolah tercecer jadi remah remah. Maka minta padamu biarkan saja aku curiga pada langit langit kamarku yang menggunjing betapa cemburunya Tuhan menciptakan aku. Tinggal saja bagaimana hidup datang menyapamu hingga memberikan pilihan bilamana masa menetapkan kita berbelok pada gang yang sama. Karena jalan ini bukanlah sepi yang diterpal pinggiran dinding pembatas. Bukan lah soal cermin yang bagaimana pandangan jiwamu terperangkap disana. Ini adalah gita yang dengan sombongnya kita gubah seolah raja yang murka. Maka saat ia menyusup melalui pori-pori mu, lubang hidungmu bahkan mulutmu, ia akan memaksamu terpejam menutup mata melupakan getir nya jahilmu di masa muda. Terbayang bagaimana luasnya belantara kegelapan jadi ruang yang mengungkungmu di pepunggungan bukit kecil. Menapaki satu per satu anak tangganya hingga harapanmu terpuaskan dengan jawaban yang layak. Lalu saat kau tersadar, kau telah kembali dengan kehidupan dan kemurkaan yang baru.

Terimakasih

Sebagaimana aku cinta baunya malam, merekam detik-detiknya dalam kertas. Menumpahkan tinta membabi buta dalam bidangnya terhampar. Menyisihkan sebahagian musim demi pengembaraan, mengobati luka dan mengukur dalamnya depa. Bila lagi mungkin jiwa in hancur pada sudut tebing, mengumpulkan tangisan dan pecahkan lagi pada keheningan. Menengoklah aku pada jiwa di sebelah sedang terlentang tersungkur. Dan hanya terpikir olehku, terimakasih Tuhan

Mengenang

Gadis bergelang giok, cerah merekah seperti senyuman yang mencair, menjadikan setiap mata segan berdusta. Duduk termenung pada sebuah beranda menengok ikan ikan berkerumun di teratai kolam. Setiap waktu ia tersenyum, kelopak matanya memancarkan demam resah yang terbenam dari balik senyuman. Kerinduan yang tertahan dan dentuman impian membludak dalam rongga dadanya. Hatinya kosong terisi lolong yang panjang memberi aroma pada malam malamnya.
Tak butuh padanan, ia hanya berharap sebuah jawaban. Hatinya bergemuruh kencang. Padahal ia tau, masih ada jiwa menunggunya. Selagi ada baginya waktu mengenang. Ia mengenang
Seperti gerimis kemarin yang meresap dalam lengang jalanan, memandikan pucuk pucuk dedaunan bergutasi. Membelah remang yang penuh aneka rupa dan warna seperti tumpukan sesajian dalam pura, untuk dewata. Patung patung bisu, pilar pilar perkasa menggantungkan doa doa menyusup. Gadis kecil dengan giok . . . Menguburkan rindu, memanggil manggil tanpa terdengar lekas.

Gemetar

Kita mengingat,
resah yang dulu kita pintal seraya, sekarang jadi dunia penuh tawa dan cerita. Dalam anjaknya tiap jarak, menebarkan jejakan bekas hatimu dalam patri membingkai sanubari. Kita pahat berdua, satu sisi satu sisi, dekatmu dan dekatku masing masing sekeping menjadikannya padu terwujud prasasti torehkan hikayat menetakkan apa dan seperti apa hidup kita pada masa. Dulu, adalah waktu. Ia menyokong kita membopongmu pada koridor penuh lampu dan tarian sesambutan. Ia menamakanmu panggilan yang selalu dielu dan dirindukan. Ia menyelubungimu dengan rindu membara dan meremat hatimu dalam air matanya. Setiap dulu, engkau mengetrapkan senyum yang tiada jua pudar dimakan angin tak seberapa. Ia redam dalam lisanmu . . .
Waktu, kini berpisah meninggalkanmu perlahan wajahnya berpaling dari dinginmu. Tak lagi jadi sesuatu di depanmu, kini jauh telah ia tertinggal di belakangmu. Tentang dulu, tentang kita dan tentang sekarang. Menimpali hari kian berujung senja, dalam tengah mengenangku akan dirimu, dalam namaku tertinggal di sudut matamu, dan kerling beningmu, dalam muara tenggelam kata kata di purwa lisan ku, tak jua bisa gerakkan mendekat akan hatimu. Tak lagi serupa ia-yang kau sebut dulu-muspra kandas berjuntai memanjang kenang. Bukan lagi sekarang, masa engkau kembali, telah terbingkai darahnya luka hati.

Ingat, dalam ingat.
Masih erat melekat dalam benak, tempat tempat yg sempat kita tapak. Kisah kisah yang mimpi kita hikayatkan. Cita cita yang pernah kita gantungkan biar jadi pewarna, matamu dan mataku, menatap dengan cara dunia. Dunia kita.

Rindu, lah membunuhku perlahan. Menderu sambil menunggu diliput hujan yang mengeras dan melumatkan wajahku, ditampar sesekali angin menghentakkan tidur dari mimpi, dan semakin layu, bahwasanya retak engkau tiada pernah jua sadar aku tunggu.

Sayap Kecilmu

Jika angin punya titah, hembusannya bersuara, bicara, berkata, dan berdaya bercerita, menggambarkan langit dalam tepi dunia, yang lain, yang tak bisa engkau duga, yang tak bisa engkau kira.
Suatu tempat jauh dibalik pelangi mewarnai, tempat para peri menyulam mimpi, punya mu, punya ku, punya kita. Ada jalan yang panjang, berhiaskan rerumputan kehijauan, bunga dandelion, krisantium dan wewangian jahe menepuk kantuk. Tak lagi dikerumuni risau, menjelang gelap malam, tak akan lagi ada buta, karena bintang gemintang lah mata kita, menatap, menyorot, menerangi, menceritakan hikayat hikayat dan mengintip hari esok. Bukan pada dunia, megahnya ajaib dan digdaya mukjizat, pada senyuman setiap engkau lah, dunia punya nyawa. Bukan tentang kita menilai menelaah sesama, atau bukan pada bagaimana engkau menyandang nama, bangga gembira, dan menengadah.
Dilontarkan mimpi (lagi) pada tingginya pelangi . . . Serasa engkau terlahir punya sayap, sepasang sayap kecil, sepasang sayap mungil, tempat engkau memintal harapan memulai lamunan menduga seberapa luasnya langit kebiruan. Adalah matahari, memberinya warna, memberinya cerita. Tinggal caramu memolesnya, dalam suka dan duka lara. Entah mana caramu menterjemahkan rindu. Rindu berkata kata, tertinggal dalam jalanan. Rindu sangat dalam, bergemuruh tiada teredam. Sayap kecilmu mengepak, menelisik seberapa mampu engkau berlari, dari rindu dan ketakutan. Bila saja malam rekak memasung matamu pada sesumbar budi bahasaku, acuhkan saja bilamana hanya bayangan yang datang menemani. Entah kelak, satu masa kita dapat bertukar senyum, atau bahkan bertukar cerita, dan berita, akan aku ingatkan engkau, betapa satu dunia, dengan satu warna langitnya, jadi tempat sayapmu mengepak mengitarinya . . . Sendiri, dengan mimpi jadi kemudi.
Bilamana engkau dengan dirimu, dan sayap kecilmu, disekap dalam tirani gelapnya malam, jangan gundah. Masih ada satu mimpiku, jadi nyawa buatmu

Jarum Kertas

Sungguh tatapan itu penuh legit mengercip lidah dan membungkam lisan berbahasa. Membendung pecah air mata, tersekat dalam rongga dada yang remah remah tinggal puing puing berserakan penuh cerita karam. Kendatipun tak mampu menjadikanku sebuah jembatan untuk menyeberangi muara pada lautan duka, kehilanganmu seperti sajak bisu pada rima, bahkan lagi tak punya daya bersuara. Aku tengah bersandar pada dinding yang sejuk, yang tatkala setiap kali engkau aku kenang, serasa retakan dinding jadi penuh gambar. Terkadang sesekali bayanganmu muncul begitu anggun menyapa. Denting masih lah berdenting tak pula lagi berhenti, menyambar sunyi mengelupasnya dengan cukup mengerikan . . . Hingga bergemuruh tangisan pedih nya sunyi, menggema pada punggung perbukitan, tempat kita pernah menjajakan bersama, tawa, kelakar dan masa kecil. Mata enggan terpejam, menggerayangi sketsa-sketsa irama kita berdahak setelah ricuh tertawa. Ingatkan lagi masa sempat aku tertidur menemuimu dalam mimpi. Dengan penuh rangkaian bunga dan buah pir, dengan gaun angsa, dan pita. Bukan kepulan seperti yang kita pernah takutkan. Masih terlalu pagi engkau buka jendela, tak jua sempat aku menyematkan doa pengantar malam, sudah kau suguhkan secangkir kopi. Drama sepanjang pagi engkau perankan, bila saja masih sempat kita tonton bersama. Sampai jumpa kawan . . . Suatu saat kita bertemu lagi dan engkau menyadari, betapa tak perlu engkau jauh berlari

Pesan Saat Pulang

Penghujung malam yang membeku, tempat dimana kekosongan waktu mencekal dunia lalu enggan berputar lagi. Berbincang dengan langit kelam, menghitam dibakar kebekuan, menatap wajah wajah yang terkubur dalam tidur. Semakin lekat semakin dekat dengan akhir. Semakin angkara manusia membujuk mayapada. Dahulu, pada zaman masih muda gejolaknya, tak banyak dunia punya kisah bersuara. Hanya lamat lamat tertanam dalam ingatan. Menanamkan dengan dalam dalam panutan untuk dibekalkan. Bola dunia, kian menua, putarannya kian redup berirama. Tuhan telah menggariskan ia berhenti di titik nun tak lagi lama. Andaipun tak sempat aku risau, jadikan akhir hayatku mula dari tunainya penebusan. Andaipun aku salah menduga, jadikan perputaran sisa dunia, sebagai saksi, jasadku beku, sementara jiwaku bebas terbang, mengunjungi tanah kita. Sementara dirimu, bergegas pulanglah sembari sedang rindu dielu keluarga. Jadikan sudut mata mereka lautan bahasa, mewarnai tangan dalam hatimu, dengan perkasanya kata-kata. Tinggal lalu bagaimana jalanmu menebar jala, menjaring sisa sisa kesempatan yang terabaikan selagi dirimu tenggelam dalam menipu diri. Aneka rupa wujudnya. Tatkala sediakala engkau bangun tersadar, tataplah lekat lekat jiwa dibalik raga, yang menjadikan tanganmu membara, melumatkan musuh dalam dirimu sendiri. Jangan pula menunggu waktu terlalu lama, aku titipkan padamu dunia, selagi berputar ia, maka jagalah. Sementara aku tengah kembali, kusampaikan keluh kesahmu di pangkuan Ilahi.

Noda

Saksikan bahwa diam. Dengarlah sementara bayangan berdansa menyapa jalanan, menangkap bulan. Bergeriap lalu lalang, menyingkap ia terkurung, padamu ia pasrahkan pasungan. Tinggal menunggu tanganmu, merantah atau tinggal berpisah. Sedikit lagi, tak jauh waktu menyeret kita pada buku-buku bambu, dan ilalang ilalang jangkung menyalami telapak tangan basahmu. Hey! Engkau ternoda! Tak sedari tadi aku tersadar, lenganmu tertumpah tinta, ketika sejenak engkau lukis dunia, dengan gelisah dan gundah. Namun aku diam saja, menikam tarian pancuran, menindih suaramu dengan desahan alam tinggalnya. Tinggal saja beri tanda, manakala yang terdengar rindu. Di atas dahan, sepasang burung bercumbu, mengusir sepi yang bergayung di dada selagi engkau bersihkan noda. Kabut yang melolong panjang, membungkam lisanku diam. Menguncinya dalam empat penjuru. Merentangkan perihnya bersama daratan dan ratapan malam agar dapat aku rebahkan kepala pada bulan di lenganmu. Syair menemanimu, disinipun menidurkanku. Iramanya gemulai terbingkai. Duhai halus terbisik. Jangan lagi lupa kau bangunkan aku, selagi sudah tuntas dunia menggoda. Aku bosan terkubur dalam tidur.

Tarian Tipuan Rembulan

Tarian rembulan, tersapu malu angin buritan selagi matahari yang kuning bernas tengah beradu pulas. Sementara wajahku sakit ditusuk jeruji jerujinya cemara yang dingin menyembul. Sambil mataku terpejam lalu menggenggam kembang pasir selembar. Matahari tertidur makin lelap, seperti bayi kelelahan didengungkan ia punya tangisan. Pekik angin meronta ronta membelah gemintang menghardik sang dewa hari mimpi indahkah ia dalam pulasnya. Meresak perlahan rerantingan dielus decak kagum kegelapan dingin hutan, membunuh sangkaan. Tak berapa lama kira kira, batang sungai yang membelah malam nun kehitaman bergemeriak merangkul paras. Dingin batunya membekukan separuh bumi dan papar kosongnya menjerat hati hingga mati, mencabik cabik, menyerakkan serpihannya pada altar tempat siluman malam tertegun kesepian. Lantas bunga bakung bergidik dirajam irama-irama lirih sesenggukan. Irama-irama yang mengajaknya bangkit melintasi belahan separuh rembulan, mengarungkan bahtera Tuhan, menyaksikan bulan menari. Kendatipun kantuk menghempaskannya pada sudut bukit. Memaksanya memakan lamunannya. Sembari menunggu pada genit rembulan dan menelik sambil berpekik ; "Hey rembulan! Segeralah bangunkan aku!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"

Kemenangan Hati

Semasa . . . Bertanyalah kemarin . . . Di pelupuk, sudah terkubur mati kemarin. Membawa serta bungkam kata-kata. Halaman halamannya kita buka, sambil berderai keluh kesah disandingkan cerita. Tentang peri, bunga, malaikat dan kunang kunang. Semuanya, kebumikan saja. Tak punya daya kelopak mata ini, menatap tajam riak riak sentuhan doa. Meringkus bulan yang lagi bersolek, dalam mata malam. Mengintai dari balik kemilau berkilau. Masih samar, cahaya menggoda malas punggung ini bersandar . . . Tanpa sengaja, mata ini dibekukan bingkai, sosokmu disana . . . Tersenyum murah hati berbagi bening mata. Sedikit terobati kandas hati sejak pagi. Dalam masih berdarah nafas ini melumatkan isi kepala, digempur pedih ditinggalkan sendiri, bingkaimu datang, berselimut warna, satu lagi satu lagi satu lagi, tak terasa tiada terhitung megahnya. Hanya butuh sayap, untuk hadir dan tertunduk di pangkuanmu. Meski sedetik, kita gali lagi sedepa tuliskan sedetik pada akhir halamannya . . . . Tentang mungil senyummu mengambangkan buku buku ruas dalam kalbu . . .
:)

Katalismik Inkarnasi

Kembali ke Pasadena, bunga bunga belantara cerah mekar merona, menyembulkan dunia punya ritma, dalam mata bocah bocah jelita yang senyumnya mengembang sempurna. Pada balkon lantai dua, tertegun setengah renta pria memandangi datar dunia, dalam dataran berlukis harapan, penuh warna, jutaan jumlahnya, merah, jingga, delima, kuning, hijau marun, violet pekat. Ia menghitungnya dalam jemari tak seberapa. Didapati dirinya tengah meringkuk makin letih dan tua, dalam sudut serambi yang gelap menganga. Hidup seri dilalui, dalam dunia tengah riuh gembira tertawa. Kepalanya tersandar pada gundukan, tempat ia benamkan sedikit tawa, untuk kelak sempatkan mengambilnya, kala masa telah menjemput. Bilamana angin memutar air mukanya, ia berharap luka yang dihembuskan, sembari menjajakan sekerat harapan nun ditelannya. Pada syair, lagi sendu merdu, deraikan doa pengharapan, semoga lebur pantai di tepiannya, melumatkan luka nan membakar dunia. Dalam harap langkah berjejak atas pasir membimbing kepak kupu-kupu larva mengarungi cakrawala, kembali jadi raja saat senja, maupun pagi buta. Pada wajah yang bening sejuk segar, menatap ia punya keluhan. Melucuti satu lagi satu, gumpalan gumpalan penghasutan, jadi kapas beterbangan, memutihkan langit langit, menjadikannya awan rindang, tempat mana engkau tiada lagi enggan meringkuk. Pada larut yang hinggap dalam wajah hening, pasrahnya tertimpal dengan datang malaikat, penuh rahmat, menikmati bilik bilik senyap malam terbenam, diingatkan dalam suara. Suara teralun oleh bayu dan tirta, menggema dalam segenap titik buana. Pria tua, dengan pelana tanpa kuda, mengarungi kejamnya masa, tempat nasab nasab menatapnya, sebagai jejak penuntun, sandi pembuka jendela dunia. Pria tua setengah menderita, dalam rindu mengisi ceruk hatinya, dapat tebing memecah lukanya, biar manusia bisa seksama, mendapati hatinya, penuh warna warna merona. Pria tua, dalam jemah sadarnya, hidup dalam sekepal bara, mendongak bangganya dan membakar pekik menggoda ; "Aku sudah tua!!!!!!"

Tertidur Dalam Buta

Melafadzkan tarian angin membakar doa dalam keampuan sisa sedikit malam. Ditampar dingin menukik dari surga di ketinggian, jatuh pada berserakan berdekatan. Bumi yang tertidur dibelah bulir setengah ranum menggantikan esok jadi sekarang. Duu duu duu duu . . . Bocah kecil gegap berseru seru melagukan kerinduan. Di sepanjang jalanan melintas harapan, entah kemana arah ia tercedar, dikikis mata enggan rapat terpejam. Halaman kita, nun tengah belajar bersuara, menabuh genderang berperang dengan celuk hujan dan petir, disemai bunga bakung ditindih gerimis lalu dibuang angin. Halaman tempat kita tanam cerita. Taman seperti singgasana dekat salsabila, tempat untuk kau, aku dan kita. Tak ada larut disana. Waktu selalu menyuguhkanmu ceria, tak ada himpitan senja dipasung gelap. Halaman rumah kita, berbicang tentang sempat bahagia bayangan kehidupan insan fana. Tempat esok, kelak, kembali jadi saudari, membumi. Kabut dilarut gelap, buta membahana, membuncah dalam nafas bumi yang beritma dan berima, disiratkan pada ayat mengepak keringat. Wejangan para Aulia dan mantera penjaga surga. Menelisik kehendak Khaliq, bilamana tidak dengan doa, mungkin sempat aku meluluh hatiNYA dengan syair dan rayuan tak seberapa, sekedar memburu, kapan lagi bisa kita duduk satu pangku satu rangku. Tak ada mukjizat. Coba engkau katakan padaku, dalam gelap dimanakah hatimu. Adakah dalam ruang berbuku buku? Adakah dalam rajutan bersuku suku? Adalah rona yang tajam mengiaskan, apa apa yang tiada tersentuh paras. Ketika dunia mulai membentang, pintu jendela terkunci semua hanya hatimu menerawang dunia, membekap mulut dan hatimu sekalipun sempat menuntunmu menderap lorong panjang koridor. Kosong menghempaskan gema berpantulan pada basah dinding batunya, namamu ada disana, namaku ada disana, nama kita dibingkai disana, pada nisan yang bisu tercela. Sisa sedikit malam, dihampiri genit bulan merah, rekahan cahaya menukil sedikit air mata, menjadikan bisu sebagai bahasa. Bangunlah, aku tau engkau disana.

Mantera Kepada Hujan

Mantera pada hujan! Hujan! Aku murka! Pada jejakan kakiku. Engkau menghapusnya! Hujan! Sejenak diamlah! Aku ingin berlari secepat kilat mengibarkan bendera duka, berwarna kuning murka. Menggerus kabut mengoyak lumpur dalam barisan bukit kegelapan. Aku ingin lari pada tempat air tak kenal evaporasi. Hujan! Inilah mantera. Menjegal langit langit kamarku, mengejutkan redupnya buluh dibakar matahari pilu. Tengah hilang, raksasa bundar. Ditelan mendung berbadan sintal. Ini malam, bulan pun ditinggalkan, hujan kau buat aku berpaling, sementara sanubariku masih terkubur dalam papan penyangga. Inilah mantera! Jangan lagi kau bersuara, agar kekar tanganku tak mencabikmu. Menantangmu hujan . . . Jadi arena di atas dunia, bertarung maya dan nyata selagi kabur pandanganmu akan basah dan dingin mendera. Setengah murka engkau meronta, tetap tersia tiada berdaya. Hujan! Diamlah sejenak. Berikan celah untuk mataku mengerjai waktu, nanti kau lihat dengan matamu, kubingkaikan ilusi jadi bebatuan berlukiskan, jadi patung seanggun Aya, yang mampu mendongak dan berbicara. Jika kau tuli, saksikan bahwa diam ia membekukan. Darahmu hujan, menggenangi ubin kayu, membasahi dinding bambu berbuku-buku. Kendatipun mati hujan, masih akan kurajam dinginmu dengan hasutan, sebagai mantera berbalas untuk hati yang pernah engkau sayat sayat. Sementara sisa kejamnya kehidupan, aku tinggalkan jadi saksi. Agar kelak dunia bercerita padamu hujan, aku membunuhimu dengan mantera.

Igauan Bocah Kedinginan

Igauan bocah kedinginan. Andai Tuhan dan aku berkawan, aku kan pinjam kunci surga. Membiarkanmu menunggu disitu, berjam jam tertegun dalam lintasan bulan dan gemintang. Sementara diburu nafsu aku mengulir surga sedepa demi sedepa. Esok hari waktu kita tiada lagi tersisa, maka aku akan menghujamkan tubuhmu dalam surga, pada bukit angin, yang ilalangnya bernyanyi ditepuk angin berkelebatan menyerukan anggunnya Tuhan tersenyum dalam penglihatan. Membaur dalam benih benih roh suci, yang erat melekat pada rongga dadamu, memberikanmu daya, agar lekas memahami bahasa terbata bata. Akan kucantumkan namamu dalam deretan malaikat penuh rahmat, di ujung teratas kubingkai tulisanmu dengan jumawa bersungut sungut. Ambillah terompahmu, kita belah padang bunga, berlayar dalam wanginya mahkota yang benang sarinya tak kerak membuatmu jengkal tersedak. Disana . . . . Disana . . . . Pohon oak kita . . . . Tergantung lebar ayunan pada dahannya, menghadap sungai salsabil dengan lekukan mengukir megah nama Tuhan. Nikmati dalam ingatanmu, ikan ikan bersisik cerah berlompatan seperti rima petir mencabuh daratan, meledakkan keharuan, untukmu aku pulang, menghunuskan pedang punya mata, bersiasat dengan tajam baja mengasahnya membunuh apapun yang merisaukanmu. Di surga, tak ada apapun yang menyelubungimu. Hanya suaraku jadi pandu untukmu, menyeberangi bahtera hingga tiba di muara berwarna merah muda. Simpan pada benakmu, namaku tersirat dalam setiap persimpangan, jadi rumah kemanapun engkau singgah. Sementara tinggalkan tangismu dalam sajadah . . . . Untuk kita, Tuhan datang bawa berkah, agar betah matamu mengagumi moleknya surga tanpa perlu tersentuh duka. Pulanglah kemanapun hatimu kau jerat, dalam rongga dadakulah jiwamu melekat erat.

Meaningless

Sei Semayang bawa nun pulang hamba ke Sei Semayang. Hati nak berkepak pada haluan tanah Sei Semayang. Puan haturkan hamba singgah di tebing rindang, berlagu gurindam pantun semoka santun Sei Semayang. Hamba punya kisah nan sendu mendayu, ditera pecah di tebing lembah Sei Semayang. Terbenam pada jurang nun puan enggan beri selamatkan. Ke Sei Semayang hamba tak sempat pulang. Hanya lamat ukirkan sajak nun hamba sempat terisak dalamnya. Dalam Sei Semayang dangak tercuak hamba sempat bersajak. Sei Semayang, tanah legenda sejuta bahasa

Kembang Teratai

Andaikata gerimis lagi pudarkan angin. Dari lesung kanvas aku melukis wajahmu cepat-cepat melesat dalam rekahan-rekahan hati. Bilamana waktu sudah utas lepas kaitannya satu lagi satu bergumul berjatuhan, tak lagi sempat aku menyisakan waktu demi membasuh telapak tanganku. Entahlah seberapa pedihnya, melahap bayanganmu selagi mengintai halus serat tanganmu membungkamku dengan beraneka ragam rupa dan warna bahagia kau sodorkan, lagi penat kepalaku ditikam waktu. Merenggut harapan jauh dari lubuk hati dan tingginya mimpi, beranjak gelisah menguburmu dalam kental penyesalan. Dikejar dosa hingga berhenti menipu diri, tiba-tiba kau tepuk bahuku, membangunkanku dalam dengkuran serigala pemangsa keremajaan. Masih muda dunia membuaiku didekapnya remat-remat laiknya bunda mendongeng putri kecilnya. Senja hadir sudah . . . Mataku rekak dan buta diselubungi jalanan memanjang membelakangiku, dan jejak jalanmu jenjang meremahkan duka lagi mengiris hati kecilku. Setiap aku mengenang sudut matamu rindu, ada bayangan terhampar lebar di depan mataku, seolah membentangkan betapa dalam luka hati sempat tanganku goreskan. Manusia . . . hanyalah manusia, yang dalam hatimu tiada engkau berikan warna. Benih ini . . . Kemana lagi bakal sempat kita semai, sementara kakimu kian jauh berlalu. . . . Tengah rebah dalam hangatnya rumah, sementara masih diam mematung ragaku ditelan sedikit hujan. Lalu akan datanglah sejenak masa, senyap yang memekakkan telingamu agar mendengar cermat sebagaimana hujan melantunkan tangisan tangisan yang melengking mendeburkan gemuruh lautan yang angin terbangkan jauh ke langit kebiruan. Aku bawakan namamu terbang kian kemari, mengitari sejauh apapun hatimu mencari. Tentang gagahnya sayapku terentang menaungi pijakanmu agar tak dijilat matahari. Lalu dibanting lagi menukik arah menghembus ragaku berlutut di pangkuanmu. Selagi resah kita aromakan bahasa. Hatimu berbicara menyiratkan makna, setibanya engkau dari pergi, rumah adalah tempat engkau kembali. Sejauh apapun dunia kau tapaki . . . Disamping rebahanku lah rumah tempat engkau pulang.

Terbang

Marilah, singgahkan bahumu sejenak di singgasana tak seberapa, beberapa langkah lagi tiba kita di koridor, menjunjung arah kita pada aula, dihidangkan jamuan para dewata, tertawa ceria, berbagi kisah, duka lirih rasa derita murka dan nestapa, memahat legenda dalam matamu yang merah cerah seperti darah berkobar membakar bebatuan pori-porinya dibanjiri angin haluan, menceritakan debur ombak kemarahan, mewarnai dunia begini begitu dan begini dan begitu. Mari, sejenak lagi kita berlayar, mengembangkan merentang sayap, ekor dan menajamkan mata ke depan, memuja anggunnya cakrawala, jadi raja di angkasa, terbang mengitari gerbang surga, esok hari engkau bercerita, kepada dahan, kepada dedaunan, kepada akar belukar, kepada air gemericik berisik, menggemakan seisi hutan bersenggama. Dengan sayapmu lebar kekar gempar dan panas berkobar, pekikkan suaramu memangsa, lengking. Kemanapun engkau mendarat, aku ikut semburat

Rindu Ayah

Harus satu satu lagi memilin nya dengan jejarian waktu yang tersengal diumbis roda roda pedati. bergulir rodanya menjejaki jalanan desa dengan serambi di pematangnya menyinggahi setiap kata dipaku terduduk dalam secarik pesanan. menepaki jemasad bisunya, mendadak pecah tangisnya mengumbai isi kalbu. terjuntai jatuh biru biru, air mata terhempasnya begitu pula dengan keluh kesah yang ia remahkan di sejumput tanah diresapnya. kali ini waktu tak beri ruang. lapuk usang dikikis kisah kisah zaman. ada jam pasir, diisikan jutaan butiran, penanda detak terdengarkan seseruan. berat getir memintal tumpukannya semisir jatuh berderaian di gelas bawahnya ... butir lagi butir menghimpun detik demikian terlewatkan. pandai pula menyapu bait demi bait dia rangkainya jadi karangan seperti gurindam kisahnya tentang enau dan tuba. lamat sedenting kemudian matanya berkaca kaca, tersengal nafasnya meronta, bergidik bulu kuduknya sambil meleleh air mata dari kelopaknya, dan semat semat angin kembali membeku jadi potret isaknya .... pada pusara yang dihimpun sedih dalam dadanya, seorang balita menangis di nisan ayahnya