Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Minggu, 12 September 2010

Masihlah Mendung Ini Pagi . . .

Masih mendung pagi ini. Belum lagi benar benar pohon bergumul dengan tiup angin, sudah gelap langit diwarnaiNYA. Kelabu! Seseorang berseru dari bingkai jendela kamarnya, sembari menunjuk pada arah langit menyandang di utara, di atas hijau rangas daun dedaunan dan mengernyah padi padi bergulir meranum. Tak ada yang ganjil pada pagi, bukan tentang sungai-sungai di hadapannya bergemericik berisik, atau pun orang orang menyabiti ilalang lama. Tapi dingin ini mencekik kerongkongan, ditambah angin mendorong dorong mundur, ingin lah tetap jauh jauh berdiri dari kamar mandi, berseteru dengan air dan sabun mandi. Lalu ia masih lah berkacak pada bingkai jendela kamarnya, berhadapan satu-satu dengan hamparan sesawahan di ujung muka nya. Sesekali melongok pada tanah halamannya, penuh dedaunan berguguran korban semalam angin berkecamuk mengamuk. Pohon kelapa pun tak banyak menyadap hembusan angin janur janur nya tiada pelak jarang melambai, pun buahnya tak banyak. Tak ada yg bisa diharapkan dari sebatang kelapa tua, di halaman rumah selagi pagi dinginnya masih melumat tulang belulang muda. Dinyalakannya radio, mewarnai paginya dengan berisik iklan dan penyiar demam, tak ada yang ia dengar dari kotak itu kecuali berita tentang hilir mudik orang memadati jalanan, tentang orang orang bercerita tentang kampungnya-mudik-mereka kata. "Ah orang orang aneh" pikirnya. Tak ada hal khusus dari lebaran bagi mereka kecuali gegap gempita perjalanan menuju kampung lahirnya, bukan apa yang ramadan cetak untuk mereka. Bukan renungan kesadaran yang menumbuhkan benak mereka. Sementara ia tertegun berpikir seandai orang orang ini tak perlu lah ke kampung tiap lebaran. Hari esok masihlah terlalu pagi dihiraukan, kenapa tak mulai melakukan hari ini? Lalu ia tertawa menyadari kebodohan semua orang, dan bergegas membelah dinginnya pagi, untuk mandi

Kamis, 09 September 2010

Pulang

Sungguh berat hari ini mataku mengerjap tersentak detik detik. Mengenang mungil wajah kecilmu menemaniku tanpa meriah masa masa demikian ini. Kini, entah engkau dimana, adakah juga saat ini engkau bertanya tanya aku dimana? Aku mencarimu, menangisimu, diantara rapatnya suara takbir menghantam relung hati rasanya sakit tersayat sayat. Perih tak terhingga menindih hati. Engkau dimana? Engkau dimana? Aku mencarimu, menangisimu. Kapan pulang? Kapan kembali? Bergemulir lagi pertanyaan pertanyaan sebelum masa sang tua renta sudah diputuskan purna. Kapankah pulang?
Pulanglah, seperti janjiku menukarnya dengan jutaan kisah kisah yang pernah kita ingat pada dinding dinding bisu kamar kita. Kini tak akan lagi bisu bila kau datang. Pulang lah sebelum masanya purna. Masih ada sebilik lagi kita mengukir semua, sebelum aku yang memulainya, dari tapal tapal terdekat menjauh dan semakin menjauh sesaat. Tak sulit mungkin. . . Hanya ingin kau tau, aku cukup rindu. . . .

Inspirasi Baru

Jikamana memang waktu tak punya pintu. Aku takut berjalan sendirian dibuntuti bayangan perempuan bersayap iblis. Trauma suara merayapi pancaroba yang memampatkan sisa masa. Kau seperti berjalan di kosong lorong yang panjang yang cahayanya surup terjual petang. Du du du . . . Ide ide dalam kepalaku masih menggelegar menambatkan inginku akan lelap tidur pada marah akan suara suara mengganggu. Denting nya jarum jam mengurung tubuhku pada kotak di sudut meja terpaku murung pada nasib yang jadi seteru. Di jendela pada sisi sebelah timur celahnya menyilaukan ditikam cahaya sore. Menjelang datang satu lagi petang.

Aku selalu mencintai subuh, tetapi tidak pagi karena aku seperti diguncangkan risih bebunyian mengganggu dan tawa orang orang berbelanja makanan. Aku bukannya tak suka memandang nikmat dedaunan hijau menari menggeliat. Hanya saja ingin aku terlalu sibuk. Inginnya aku mengunci diriku pada kotak buku sendiri. Hidup dan mati dengan satu arti, bukan jutaan yang kalian maknai pada ampas kopi dan kepulan asap rokok. Coba lagi katakan bilamanan otot otot ini sudah beranjak lemah tak lagi menjamah. Tubuh ini hendak terasa seolah tercecer jadi remah remah. Maka minta padamu biarkan saja aku curiga pada langit langit kamarku yang menggunjing betapa cemburunya Tuhan menciptakan aku. Tinggal saja bagaimana hidup datang menyapamu hingga memberikan pilihan bilamana masa menetapkan kita berbelok pada gang yang sama. Karena jalan ini bukanlah sepi yang diterpal pinggiran dinding pembatas. Bukan lah soal cermin yang bagaimana pandangan jiwamu terperangkap disana.

Ini adalah gita yang dengan sombongnya kita gubah seolah raja yang murka. Maka saat ia menyusup melalui pori-pori mu, lubang hidungmu bahkan mulutmu, ia akan memaksamu terpejam menutup mata melupakan getir nya jahilmu di masa muda. Terbayang bagaimana luasnya belantara kegelapan jadi ruang yang mengungkungmu di pepunggungan bukit kecil. Menapaki satu per satu anak tangganya hingga harapanmu terpuaskan dengan jawaban yang layak. Lalu saat kau tersadar, kau telah kembali dengan kehidupan dan kemurkaan yang baru.

Rabu, 08 September 2010

Tentang Waktu Yang Aku Ingin Ia Beku

Aku padami pelita mungil sementara menemani riuhnya bersahutan tadarus malam. Menjadikan setiap pori pori dinding kamarku, bisu. Menyaksikan masa berderet deret terjungkal dalam kotak bernama "kemarin"
malah aku terpana, tak ingin sesungguhnya hari ini berlalu. Tak ingin rasanya ada hari esok lagi. Pun andai berdaya tanganku membekukan waktu biarlah masa tertidur di titik ini, jangan perlu ada hari esok, karena dalam cemerlangnya detik ini, keningku mengkerut melontarkan bayangan penuh warna, aurora dan aura. Menyemburat pecah pecah menggulung padanan indah keanggunan yang mencondongkan pandangan mata terusik cemburu murka.

Bahkan jika berdaya tangan ini, aku akan buka pintu Arsy menemui Tuhan dengan keMEGAHANNYA tunduk malu menciumi kakiNYA penuh air mata, bermohon mengemis dalam, agar kiranya masa ini tak Dia lewatkan. Kira nya tak perlu lagi ada masa esok hari, karena cukup hidup lah tinggal tetap di titik ini, semangat kami, manusia. Belum rekah jua dosa dosa kami pugar. Belum kering pula luka kecewa kami. Ketika cinta bermuara di lautan duka. Ketika tangisan meledak hingga akhirnya kelelahan dan sirna. Ketika harapan digagahi kesombongan, belum ada titik temu.

Mohonlah Tuhan kiranya menjamahi hamba. Nun terkadang hamba tak menyadari di setiap hamba menangis Engkau Tuhan, menghampiri lagi merangkul tengkuk hamba dan membelai rambut di pelipis hamba dengan penuh senyuman. . . Yang hangat sarat kemesraan. Memandangi mataMU TUHAN, lamat-lamat aku benamkan dalam palung hati paling dasar, menyelubunginya dengan terpal-terpal doa yang kuat mencuat. Hanya Engkau Tuhan, yang mau percayai dan mendengar karena hamba pun percaya, dan mau mendengar. Kemudian tak lama setelahnya, aku akan tidur dengan jeda masa yang sangat lamaaaaaaaa yang tak terhitung ketamatan. Karena dengan berat hati dan naluri, aku tak pernah ingin Ramadhan ini pergi. Belum tuntas air mata kami melunaskan janji janji hati, belum pecah penyesalan kami agar kemudian tak lagi mengulangi. Belum pula tunduk mata kepala kami mencium bumi, untuk kemudian menengadah meminta kepadaMU TUHAN, jangan berhenti mencintai kami. Agar pengharapan ini menggema di garis masa, aku . . . . tak memohon apa apapun kecuali syukur tangisku atas semua yang ada maupun yang (telah) tiada dan yang (belum) ada.
Cuma seorang aku, menjadi AKU dalam akuMU, kepunyaanMU

Tuhan, sudikah kiraNYA Engkau menjawab? Hamba menunggu . . . .







S u r a u [21.15]