Dedi

Dedi
Nobody but me

Dedi Andrianto Kurniawan

Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p

Rabu, 23 Februari 2011

Matahari Tertidur

Menyadar betapa jauh telah kita tempuh. Tak satupun ada sesuatu yg tertinggal di batasan masa. Kita menelisik lagi liuk liuk ranting yang menjulur menjadikan bingkai sejarah kita toreh padanya. Membangunkan matahari yang tertidur. Bersama kita berlari mendobrak gundukan demi gundukan pada satu arah yang sama. Teringat lagi satu dongeng tentang dirimu dan aku. Pada masa kita larut dalam tawa pecah di danau geyser pada ladang ork di kaki bukit Emerald, mengadu pada mimpi mimpi buruk semalam. Pada penglihatan yang kandas di ujung dermaga, sempat kita membanting pandangan terajang pada hulu bebatuan sungai Salmon kita menyaksikan malaikat bersayap tercampakkan pada tepi sungai terkubur ilalang dan amaranthea. Dengan balur luka menyelubungi tubuhnya, ia bernafas namun tiada sanggup mengepak lagi sayapnya. Seperti cahaya yang berpijar pada puncak bukit gelap Emerald. Masih dapat aku ingat bersama kita panggul ia menuju lumbung kita, mencarikan tempatnya menyembuhkan luka memberikan harapan seterang cahaya, membiarkan angin mengeringkan air matanya sementara dudukannya kita ganjal dengan karung gandum ditemani erangan kesakitan. Malaikat yang malang. Kita teduhkan ia pada rindangnya warna abu abu dan dibelai symphony paling menyayat hati yang pernah ia hayati. Memberikannya warna yang tak terhingga di dalam hati. Tak ada lagi suara yang menggema pada tebing tebing Emerald yang bisu dan burung burung Nazar pemakan bangkai. Perlahan kita biarkan ia mengalun perlahan memberikan irama pada hidupnya, menggandengnya pada hidup yang nyata, sehingga tak lagi terbaca alur alur nadanya yang mematahkan air mata berderai. Penuh jiwa dia goreskan warna. Menunggu keajaiban datang menghampiri, atau dikandaskan gema gema yang merusak, mendenting setiap detakan pada jantungnya hingga sayapnya dapat lagi mengepak. Sementara ia kita biarkan menanti, persiapkan saja gita gita pepujian bagi jiwa jiwa yang mati. Agar dapat mereka temukan jalan mencari cahaya sebenarnya. Berlomba menumbangkan masa, menjerit sekerasnya tanpa ragu tumbang suaranya. Dan tetaplah tangan kita mengobati sayapnya yang penuh luka. . Sembari terus sejalan ditemani denting denting berlaluan kita acuhkan. Kita berjaya mewarnai takdir dengan gema dan suara, dan jeritan, pada lulaby lulaby untuk iblis yang tengah bermimpi. Menuju pada hari yang gelap dimana matahari kembali tertidur, meredam gema yang terbingkai pada sayatan sayatan symphony. Detak jantungnya terus saja menghentak tak pedulikan masa yang telah tersungkur pada batasnya. Masih terdengar riuh riuh nyanyian amaranthea bergesekan dengan ilalang tebing Emerald. Tak adakah lagi yang abadi disana? Engkau bertanya. Hanya kau dapati mulutku terkatup terdiam, dan nafas malaikat terengah sekarat menanti pilihan ditentukan. Masih melaju pada deru matahari yang tertidur, ditindih kejamnya cakrawala membakar mata dengan kesedihan merajalela, menyisakan kehancuran porak poranda pada hati yang sama terluka. Di kejauhan sudut desa, orang orang tanpa sadar kehadiran kita, terus bernyanyi membelah dinginnya malam dengan kepalan dan anggur hasil ladang. Tak lagi terjawab apa yang kita pertanyakan, hanya masih harus menunggu matahari yang tertidur. Dan di belakang kita datanglah perasaan perasaan yang mengusik yang membunuh kita secara perlahan, sekarat menemani sang malaikat. Pada gelap nan dinginnya hutan Emerald dan hantu hantu dengan jeritan dan gaun berwarna merah, kita tegar pada jejakan tak bergeming sedikitpun disamping ia yang tengah sekarat menantikan mukjizat. Kendatipun tersayat hati kita dengan lukisan lukisan derita yang ia kanvaskan dari pejam matanya, menangislah ia meneteskan darah pada air matanya, membasahi pipinya yang beku dibelenggu bebatuan bukit gersang Emerald. Nafasnya mulai memburu, tangannya menggenggam meronta berusaha mencabik sekelilingnya sementara matanya terkoyak buta. Penglihatannya hanyalah hatinya yang pedih akan luka. Ia terus berjuang lepas dan meronta sementara tak lama pula matahari yang tengah tertidur akan kembali. Pada hadapannya membentang harapan dan kesungguhan, merubah amarah manusia jadi gelak tawa hada harapan penuh warna, dan tetap pada sayapnya yang perlahan mencoba mengepak, menerbangkan debu yang menombak mata kita. Tak ada yang dapat kita salahkan melainkan takdir dan mukjizat tengah datang menyelamatkan jiwanya dari luka luka sayatan, membawanya pulang pada singgasananya menghujani gersang Emerald dengan lembutnya salju, membangkitkan bangkai bangkai pohon Oak yang mati menjadi sabana penuh tulip berwarna jingga, membiaskan cahaya matahari yang tak lagi tertidur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan masukan :)