Dedi

Nobody but me
Dedi Andrianto Kurniawan
Belajar nge-blog ... let's go blog!! :p
Minggu, 08 Juli 2012
Garis
Setelah dihapus titik debu. Meraung raung ditindihnya jerih. Atau sebab dosa dibukakan satu luka? Terbelenggu pukat pukat kasat mata, gemas geram mataku dibuatnya buta. Meraba setelah disiksa. Begitulah pula ingatan, kemana lari diburunya jua. Lalu dijawabnya pendek kata ; kalah!
Bahasa Jaring dan Pukat
Selamat pagi suara, dilagukan hikayat bunga kemuning, setiap pagi menentang terang dibalik dedaunan ditampik. Tadi malam angin datang tersengal pongah, diburu buritannya menjaring setiap jejaknya. Seperti musuh, membeku-hancurkan apapun bercokol dijalanan, pria pria bertudung sarung. Ditikam tikam suara ini. Sampai angin tak bergerak lagi . . .
Ditombak Matahari
Terimakasih senja, butir butir air mata engkau gerus jadi hujan mendera.Jatuh lebat berdegum memekak bumi, tinggal tersisa rekahan rekahan luka dinukil waktu biar lekang kering dan menoktah jiwa hingga besok engkau datang lagi senja.
Tidak lagi menanti, biar waktu mengaburkan lebam luka dan peri rasa, julurkan saja tanganmu senja, biar bergelayut detik beku di sisi sebelah ini, tidak lagi matahari remat membakar dan menombak terak jiwa ini.
Lemparkan saja setinggi cahaya bisa menangkap, jatuhnya nun jua ke haribaan senja.
Dengarkan yang melengking, jauh menggema, membunuh memekakkan telinga.
Rasa sakit yang menganga, dibenamkan dalam timbunan harapan . . . dan kesempatan.
Tunggu aku senja . . . sehari lagi . . . biar sempat tangan ini . . . menombak kembali . . . sang matahari
Pantai Merah
Selalu basah datang pagi dibasuh embun dari kabut yang turun menukik dari tinggi pun dedahan membendung.
tadiBersembunyi dari jilatan petir semalam yang temaram, tibalah pagi masanya bertandang dengan kelok jalanan. Mengarung dari tempat lahirnya cahaya menzahirkan suara menjadi warna. Setelah pagi terang terang bercahaya.
Bagya menapaki sejengkal demi sejengkal negeri yang mengapung, yang teduh dinaungi rindang belantara nun dimandikan percikan nakal bekas pelangi tadi.
Sesekali bersiasat dengan torehan petir semata, sengatnya menjarum, dalam cahyanya mendetas diujungkan jalanan ke arah sini situ, di negeri yang mengapung, raman menopang dunia.
Berjalan kami menjemput semenanjung, hempas hempas ombak jauh mengundang datang, terkabar dari puncak negeri terapung, tengah datang kami berkafilah, tunggu jua sedikit masa.
Kami datang . . . .
Jendela
Jendela kecil, tempat kepada cahaya anggun terbingkai. Jadi gerbang sedikit pandangan menapaki gelap jalanan gang di samarnya malam. Menari, menemani suara dan gema yang bertumbukan. Dari jendela tempat memandang kehidupan. Kepada jalanan, bayangannya ditumpahkan. Cahaya, berjuta deratnya ribu rasa pengecapnya. Seperti memuntahkan warna warna, tak terbendung. Segera lalu setelahnya mengabarkan, tentang apa yang berdenting. Tentang bagaimana birama kehidupan berjalan. Keras lembut detaknya dunia. Lewat layar angin dan embun, tinggi terbang pijakan tertepak. Meski tiada sayap, jendela di ketinggian, jadi teman, mengarungi kosong senja, terbang kemanapun awan menelan cahaya. Jauh di atas bendera bendera yang ditera, kami terbang menyaksikan dunia, lewat jendela. Dalam pusara tawa, tengah seminya tangis berbunga, kami direnggut. Dan kelak pun pulang bawa cerita. Bahwa sempat gantungkan mimpi, lewat jendela kecil, di sebuah serambi. Menghadang senja, kita pada jendela . . . .
Langganan:
Postingan (Atom)